“Kerja di mana?”
“Di Indonesia Mengajar.”
“Oh, jadi guru, ya? Mengajar di mana?”
Begitulah pertanyaan yang sering diajukan orang-orang di luar sana kepada saya (yang sejak tahun 2014 lalu menjadi staf di Indonesia Mengajar). Memang bukan sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Bersyukur, dua kata itu, ‘Indonesia’ dan ‘mengajar’, memiliki makna kata yang jelas satu sama lain. Jadi, ketika dua kata itu bergabung membentuk sebuah frasa, saya tidak perlu repot panjang lebar menjelaskannya.
Guru, Sekolah Dasar (SD), daerah pelosok, anak-anak, mengajar, Anies Baswedan, pemuda, lulusan S-1, tidak ada listrik, tidak ada sinyal sinyal, pegunungan, pantai, jauh, terpencil. Begitulah orang-orang itu sering menerka-nerka Indonesia Mengajar dengan versinya sendiri.
Walaupun sering diidentikkan dengan profesi guru dan kegiatan belajar mengajar di sebuah sekolah, lebih dari itu, Indonesia Mengajar sebenarnya adalah wahana atau sekolah kepemimpinan bagi pemuda-pemuda terbaik. Indonesia Mengajar sering menyebutnya sebagai ‘Indonesia Mengajar School of Leadership.’
Indonesia Mengajar School of Leadership ini dimulai sejak pemuda-pemuda yang sudah lolos seleksi, yang kemudian disebut sebagai Pengajar Muda, diberangkatkan ke daerah pelosok di seluruh Indonesia (deployment). Selama satu tahun di daerah, mereka akan menjadi guru sekaligus penggerak masyarakat untuk mendorong kemajuan pendidikan di daerah tersebut.
Semua hal yang terjadi di daerah penempatan adalah pelajaran bagi Pengajar Muda, sedangkan daerah penempatan adalah sekolah bagi Pengajar Muda. Selama satu tahun, Pengajar Muda menghadapi realita kehidupan di daerah dan, bisa jadi, jauh berbeda dari kehidupannya sebelum menjadi Pengajar Muda secara mandiri. Secara mandiri di sini artinya sendiri sebagai seorang individu. Ya, satu Pengajar Muda memang ditugaskan di satu SD dan hidup sebagai anak dari sebuah keluarga angkat (host family) di daerah penempatan.
Mengapa profesi yang dipilih oleh Indonesia Mengajar untuk menerjukan pemuda-pemuda terbaik ini adalah guru? Mengutip dari apa yang selalu disampaikan oleh Anies Baswedan, penggagas Indonesia Mengajar, guru adalah sebuah profesi yang bisa diterima oleh hampir seluruh masyarakat di Indonesia. Jadi, untuk dapat ‘bersekolah’, hidup di tengah masyarakat di sebuah daerah, Pengajar Muda harus terjun dan mengalaminya sendiri.
Waktu satu tahun yang diberikan kepada Pengajar Muda untuk mendorong kemajuan pendidikan di sebuah daerah bukanlah sebuah keterbatasan, melainkan tantangan. Sesuai visinya, keberadaan Indonesia Mengajar di sebuah daerah penempatan adalah lima tahun. Dalam lima tahun itu, ada lima Pengajar Muda yang berganti setiap tahunnya. Bisa dibayangkan dalam kurun waktu lima tahun tersebut, masyarakat ‘hafal’ dengan siklus keberadaan Pengajar Muda dan termotivasi untuk memajukan pendidikan di daerahnya karena tidak melulu selamanya bergantung kepada Pengajar Muda.
Sekembali dari daerah penempatan, Indonesia Mengajar mencita-citakan adanya jaringan pemimpin masa depan dari para alumni Pengajar Muda yang sudah purna tugas. Di masa depan, mereka diharapkan menjadi pemimpin-pemimpin Indonesia di berbagai bidang yang tidak hanya berwawasan global (global competence), tetapi juga memahami realita akar rumput (grass root understanding) bangsanya.
Saya dan Indonesia Mengajar
Cerita saya di atas bukanlah sebuah isapan jempol semata. Ada alasan mengapa saya bisa lancar bercerita. Saya sendiri adalah salah satu Pengajar Muda yang pernah bertugas di suatu daerah. Nah, di situlah, hubungan saya dengan Indonesia Mengajar dimulai.
Pada akhir tahun 2010, saya mengikuti seleksi Pengajar Muda angkatan II Indonesia Mengajar di Yogyakarta. Melalui rangkaian seleksi yang panjang, akhirnya pada bulan April tahun 2011, saya dinyatakan lolos seleksi untuk menjadi Pengajar Muda dan wajib mengikuti pelatihan intensif selama dua bulan, sebelum akhirnya diberangkatkan ke daerah penempatan.
Bagi saya dan teman-teman Pengajar Muda angkatan II lainnya, ini adalah sebuah perjuangan, pun sebelum diberangkatkan ke daerah. Bayangkan, di tahun 2010, saat Pengajar Muda angkatan I belum kembali dari penugasan, serta publikasi di media belum semarak seperti sekarang, pendaftar Pengajar Muda sudah mencapai 4.368 orang. Padahal dari jumlah tersebut, untuk angkatan II saja hanya dipilih 72 orang.
Singkat cerita, selama satu tahun, 2011-2012, saya ditugaskan di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Saya mengajar di SD Negeri 2 Kepuh Legundi sebagai wali kelas 6 yang mengajar semua mata pelajaran, kecuali agama. Tidak sampai di situ saja, pada tahun-tahun selanjutnya, keberadaan saya di SD N 2 Kepuh Legundi diteruskan oleh Pengajar Muda berikutnya, yaitu angkatan IV (2012-2013), VI (2013-2014), VIII (2014-2015), dan sekarang (2015-2016), yang masih bertugas (in service) Pengajar Muda angkatan X.
Selain pengalaman mengajar, banyak hal lain yang saya dapatkan selama bertugas. Salah satunya, saya menjadi saksi perubahan positif yang ada di masyarakat, khususnya di bidang pendidikan. Walau hanya berada di daerah selama satu tahun, saya dan teman-teman Pengajar Muda penerus saya masih terus aktif berkomunikasi tentang perkembangan murid-murid kami, sekolah, maupun masyarakat di desa.
Salah satu hal yang menjadi perhatian kami adalah keberadaan taman baca di desa dan perpustakaan di sekolah. Jika pada saat saya bertugas, saya meminjam ruang tamu di rumah keluarga angkat saya untuk menginisiasinya menjadi taman baca, maka pada perkembangan selanjutnya, oleh Pengajar Muda penerus saya, taman baca dipindahkan ke sekolah sehingga pada akhirnya, sekolah memiliki perpustakaan sekolah. Tidak sampai di situ saja, oleh Pengajar Muda penerus berikutnya, berdirilah sebuah taman baca bernama ‘Dhurung Elmo’ di lingkungan rumah warga dengan koleksi buku yang lebih beragam. Warga pun menyambut gembira karena mereka turut andil dalam pengelolaannya.
Sekarang, jika ditanya bagaimana rasanya? Maka, saya menjawab selalu terkenang. Banyak sekali hal yang saya dapatkan, baik pengalaman hidup maupun pengembangan kapasitas diri. Walaupun penugasan sudah berakhir dan saya sudah tidak menjadi guru sejak beberapa tahun lalu, saya masih tetap bersemangat menceritakan pengalaman saya tinggal di sebuah desa di balik gunung tak bersinyal di sebuah pulau selama satu tahun. Rasanya, masih selalu seperti kemarin, tak terlupakan.
BNI Sebagai Mitra Pendamping SD, Sebuah Kontribusi
“Apakah pemuda-pemuda terbaik yang mau menyumbangkan satu tahun usianya untuk hidup di daerah pelosok Indonesia sebagai guru hanya ada di negeri dongeng? Apakah masih ada pemuda yang bersedia untuk hidup ‘susah’ demi mengasah jiwa kepemimpinannya? Apakah ketulusan dan pengabdian masih berlaku untuk zaman sekarang?”
Melalui pengiriman Pengajar Muda ke daerah penempatan setiap tahun, Indonesia Mengajar menjawabnya. Dimulai dengan pengiriman 51 Pengajar Muda angkatan I pada tahun 2010 ke lima kabupaten di seluruh Indonesia, disusul dengan pengiriman 72 Pengajar Muda angkatan II pada tahun 2011 ke sepuluh kabupaten di seluruh Indonesia, hingga kini, terakhir, Indonesia Mengajar mengirimkan 75 Pengajar Muda angkatan X ke sepuluh kabupaten di seluruh Indonesia.
Sejak tahun 2010 sampai 2015, sudah ada sepuluh angkatan Pengajar Muda yang dikirimkan ke daerah penempatan. Dari sepuluh angkatan tersebut, sudah ada 414 orang alumni Pengajar Muda yang sudah purna tugas dan ada 127 orang Pengajar Muda yang masih bertugas di daerah penempatan sebagai Pengajar Muda angkatan XI dan angkatan X.
Melihat hal tersebut, sampai detik ini, saya optimis dengan apa yang dicita-citakan Indonesia Mengajar tentang jaringan pemimpin masa depan dari para alumni Pengajar Muda yang sudah purna tugas. Kini, 414 orang alumni Pengajar Muda sudah kembali ke kehidupannya masing-masing dan terjun ke berbagai sektor, seperti pemerintahan, swasta, maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Selain itu, beberapa di antaranya juga aktif dalam pengembangan kewirausahaan sosial (social entrepreneurship), gerakan sosial (social movement), dan dunia kerelawanan lainnya. Isunya pun, tidak hanya terbatas pada pendidikan semata.
Saya percaya, semua hal ini bisa terwujud tidak hanya atas usaha Indonesia Mengajar saja. Di balik itu, ada berbagai pihak yang turut mendukung Indonesia Mengajar sehingga Indonesia Mengajar bisa berkembang seperti sekarang dan menghasilkan alumni Pengajar Muda yang berkualitas, calon pemimpin masa depan.
Sejak awal berdirinya, Indonesia Mengajar mengajak semua pihak untuk ikut terlibat dan berkontribusi dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Pendidikan adalah tanggung jawab setiap orang. Sehingga, pendidikan harus diupayakan bersama dalam sebuah koridor bernama gerakan pendidikan.
BNI (Bank Negara Indonesia), salah satunya. Sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang perbankan, BNI mempunyai berbagai kegiatan tanggung jawab sosial. Hal ini seperti tercantum pada Peraturan Menteri BUMN No. 05/MB/2007 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Dengan tema ‘Bersama Membangun Negeri (BNI Berbagi)’, BNI bekerja sama dengan berbagai institusi untuk meningkatkan dampak positif dan manfaat keberadaan BNI di tengah masyarakat demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sejak tahun 2012 hingga sekarang, BNI mendukung Indonesia Mengajar sebagai Mitra Pendamping di SD-SD penempatan Pengajar Muda. BNI mendukung pengiriman Pengajar Muda yang bertugas di 46 SD di enam kabupaten di seluruh Indonesia. Angka 46 sendiri diambil dari tahun berdirinya bank pertama di Indonesia ini, 1946. Adapun keenam kabupaten tersebut, yaitu Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau, Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat, Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Rote Ndao Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Sangihe Provinsi Sulawesi Utara, dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat Provinsi Maluku.
Sebagai alumni Pengajar Muda yang pernah bertugas di daerah, saya berterima kasih dan mengapresiasi dukungan yang diberikan BNI kepada Indonesia Mengajar. Terbayang dalam kurun waktu tiga tahun, BNI andil dalam melahirkan alumni Pengajar Muda yang tersebar di 46 SD di enam kabupaten di seluruh Indonesia. Bagi saya, lagi-lagi, ini bukan melulu tentang pengiriman tenaga guru atau pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang menjadi lebih ‘semarak’ dengan kehadiran Pengajar Muda di ruang kelas di sebuah pelosok desa. Lebih dari itu, dukungan yang diberikan BNI kepada Indonesia Mengajar adalah dukungan terbentuknya embrio-embrio pemimpin masa depan Indonesia dari pemuda-pemuda terbaik yang kaya akan pemahaman ibu pertiwi untuk dibanggakan di level dunia. Sungguh sebuah prestasi tersendiri dari sebuah institusi.
Menutup tulisan ini, saya meminjam kata-kata dari presiden pertama Indonesia, Soekarno, yang sampai sekarang masih sangat ampuh untuk membakar sumbu semangat generasi muda di Indonesia, “Berikan aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Ya, BNI ada di dalamnya, bersama membangun negeri.