Archive

Pengajar Muda Diary

“Kerja di mana?”
“Di Indonesia Mengajar.”
“Oh, jadi guru, ya? Mengajar di mana?”

Begitulah pertanyaan yang sering diajukan orang-orang di luar sana kepada saya (yang sejak tahun 2014 lalu menjadi staf di Indonesia Mengajar). Memang bukan sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Bersyukur, dua kata itu, ‘Indonesia’ dan ‘mengajar’, memiliki makna kata yang jelas satu sama lain. Jadi, ketika dua kata itu bergabung membentuk sebuah frasa, saya tidak perlu repot panjang lebar menjelaskannya.

Guru, Sekolah Dasar (SD), daerah pelosok, anak-anak, mengajar, Anies Baswedan, pemuda, lulusan S-1, tidak ada listrik, tidak ada sinyal sinyal, pegunungan, pantai, jauh, terpencil. Begitulah orang-orang itu sering menerka-nerka Indonesia Mengajar dengan versinya sendiri.

Walaupun sering diidentikkan dengan profesi guru dan kegiatan belajar mengajar di sebuah sekolah, lebih dari itu, Indonesia Mengajar sebenarnya adalah wahana atau sekolah kepemimpinan bagi pemuda-pemuda terbaik. Indonesia Mengajar sering menyebutnya sebagai ‘Indonesia Mengajar School of Leadership.’

Indonesia Mengajar School of Leadership ini dimulai sejak pemuda-pemuda yang sudah lolos seleksi, yang kemudian disebut sebagai Pengajar Muda, diberangkatkan ke daerah pelosok di seluruh Indonesia (deployment). Selama satu tahun di daerah, mereka akan menjadi guru sekaligus penggerak masyarakat untuk mendorong kemajuan pendidikan di daerah tersebut.

Semua hal yang terjadi di daerah penempatan adalah pelajaran bagi Pengajar Muda, sedangkan daerah penempatan adalah sekolah bagi Pengajar Muda. Selama satu tahun, Pengajar Muda menghadapi realita kehidupan di daerah dan, bisa jadi, jauh berbeda dari kehidupannya sebelum menjadi Pengajar Muda secara mandiri. Secara mandiri di sini artinya sendiri sebagai seorang individu. Ya, satu Pengajar Muda memang ditugaskan di satu SD dan hidup sebagai anak dari sebuah keluarga angkat (host family) di daerah penempatan.

Mengapa profesi yang dipilih oleh Indonesia Mengajar untuk menerjukan pemuda-pemuda terbaik ini adalah guru? Mengutip dari apa yang selalu disampaikan oleh Anies Baswedan, penggagas Indonesia Mengajar, guru adalah sebuah profesi yang bisa diterima oleh hampir seluruh masyarakat di Indonesia. Jadi, untuk dapat ‘bersekolah’, hidup di tengah masyarakat di sebuah daerah, Pengajar Muda harus terjun dan mengalaminya sendiri.

Waktu satu tahun yang diberikan kepada Pengajar Muda untuk mendorong kemajuan pendidikan di sebuah daerah bukanlah sebuah keterbatasan, melainkan tantangan. Sesuai visinya, keberadaan Indonesia Mengajar di sebuah daerah penempatan adalah lima tahun. Dalam lima tahun itu, ada lima Pengajar Muda yang berganti setiap tahunnya. Bisa dibayangkan dalam kurun waktu lima tahun tersebut, masyarakat ‘hafal’ dengan siklus keberadaan Pengajar Muda dan termotivasi untuk memajukan pendidikan di daerahnya karena tidak melulu selamanya bergantung kepada Pengajar Muda.

Sekembali dari daerah penempatan, Indonesia Mengajar mencita-citakan adanya jaringan pemimpin masa depan dari para alumni Pengajar Muda yang sudah purna tugas. Di masa depan, mereka diharapkan menjadi pemimpin-pemimpin Indonesia di berbagai bidang yang tidak hanya berwawasan global (global competence), tetapi juga memahami realita akar rumput (grass root understanding) bangsanya.

Saya dan Indonesia Mengajar

Cerita saya di atas bukanlah sebuah isapan jempol semata. Ada alasan mengapa saya bisa lancar bercerita. Saya sendiri adalah salah satu Pengajar Muda yang pernah bertugas di suatu daerah. Nah, di situlah, hubungan saya dengan Indonesia Mengajar dimulai.

Pada akhir tahun 2010, saya mengikuti seleksi Pengajar Muda angkatan II Indonesia Mengajar di Yogyakarta. Melalui rangkaian seleksi yang panjang, akhirnya pada bulan April tahun 2011, saya dinyatakan lolos seleksi untuk menjadi Pengajar Muda dan wajib mengikuti pelatihan intensif selama dua bulan, sebelum akhirnya diberangkatkan ke daerah penempatan.

Bagi saya dan teman-teman Pengajar Muda angkatan II lainnya, ini adalah sebuah perjuangan, pun sebelum diberangkatkan ke daerah. Bayangkan, di tahun 2010, saat Pengajar Muda angkatan I belum kembali dari penugasan, serta publikasi di media belum semarak seperti sekarang, pendaftar Pengajar Muda sudah mencapai 4.368 orang. Padahal dari jumlah tersebut, untuk angkatan II saja hanya dipilih 72 orang.

IMG_1461

IMG_4107

Singkat cerita, selama satu tahun, 2011-2012, saya ditugaskan di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Saya mengajar di SD Negeri 2 Kepuh Legundi sebagai wali kelas 6 yang mengajar semua mata pelajaran, kecuali agama. Tidak sampai di situ saja, pada tahun-tahun selanjutnya, keberadaan saya di SD N 2 Kepuh Legundi diteruskan oleh Pengajar Muda berikutnya, yaitu angkatan IV (2012-2013), VI (2013-2014), VIII (2014-2015), dan sekarang (2015-2016), yang masih bertugas (in service) Pengajar Muda angkatan X.

Selain pengalaman mengajar, banyak hal lain yang saya dapatkan selama bertugas. Salah satunya, saya menjadi saksi perubahan positif yang ada di masyarakat, khususnya di bidang pendidikan. Walau hanya berada di daerah selama satu tahun, saya dan teman-teman Pengajar Muda penerus saya masih terus aktif berkomunikasi tentang perkembangan murid-murid kami, sekolah, maupun masyarakat di desa.

Salah satu hal yang menjadi perhatian kami adalah keberadaan taman baca di desa dan perpustakaan di sekolah. Jika pada saat saya bertugas, saya meminjam ruang tamu di rumah keluarga angkat saya untuk menginisiasinya menjadi taman baca, maka pada perkembangan selanjutnya, oleh Pengajar Muda penerus saya, taman baca dipindahkan ke sekolah sehingga pada akhirnya, sekolah memiliki perpustakaan sekolah. Tidak sampai di situ saja, oleh Pengajar Muda penerus berikutnya, berdirilah sebuah taman baca bernama ‘Dhurung Elmo’ di lingkungan rumah warga dengan koleksi buku yang lebih beragam. Warga pun menyambut gembira karena mereka turut andil dalam pengelolaannya.

bikin perpust di rumah

Sekarang, jika ditanya bagaimana rasanya? Maka, saya menjawab selalu terkenang. Banyak sekali hal yang saya dapatkan, baik pengalaman hidup maupun pengembangan kapasitas diri. Walaupun penugasan sudah berakhir dan saya sudah tidak menjadi guru sejak beberapa tahun lalu, saya masih tetap bersemangat menceritakan pengalaman saya tinggal di sebuah desa di balik gunung tak bersinyal di sebuah pulau selama satu tahun. Rasanya, masih selalu seperti kemarin, tak terlupakan.

BNI Sebagai Mitra Pendamping SD, Sebuah Kontribusi

“Apakah pemuda-pemuda terbaik yang mau menyumbangkan satu tahun usianya untuk hidup di daerah pelosok Indonesia sebagai guru hanya ada di negeri dongeng? Apakah masih ada pemuda yang bersedia untuk hidup ‘susah’ demi mengasah jiwa kepemimpinannya? Apakah ketulusan dan pengabdian masih berlaku untuk zaman sekarang?”

Melalui pengiriman Pengajar Muda ke daerah penempatan setiap tahun, Indonesia Mengajar menjawabnya. Dimulai dengan pengiriman 51 Pengajar Muda angkatan I pada tahun 2010 ke lima kabupaten di seluruh Indonesia, disusul dengan pengiriman 72 Pengajar Muda angkatan II pada tahun 2011 ke sepuluh kabupaten di seluruh Indonesia, hingga kini, terakhir, Indonesia Mengajar mengirimkan 75 Pengajar Muda angkatan X ke sepuluh kabupaten di seluruh Indonesia.

Sejak tahun 2010 sampai 2015, sudah ada sepuluh angkatan Pengajar Muda yang dikirimkan ke daerah penempatan. Dari sepuluh angkatan tersebut, sudah ada 414 orang alumni Pengajar Muda yang sudah purna tugas dan ada 127 orang Pengajar Muda yang masih bertugas di daerah penempatan sebagai Pengajar Muda angkatan XI dan angkatan X.

Melihat hal tersebut, sampai detik ini, saya optimis dengan apa yang dicita-citakan Indonesia Mengajar tentang jaringan pemimpin masa depan dari para alumni Pengajar Muda yang sudah purna tugas. Kini, 414 orang alumni Pengajar Muda sudah kembali ke kehidupannya masing-masing dan terjun ke berbagai sektor, seperti pemerintahan, swasta, maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Selain itu, beberapa di antaranya juga aktif dalam pengembangan kewirausahaan sosial (social entrepreneurship), gerakan sosial (social movement), dan dunia kerelawanan lainnya. Isunya pun, tidak hanya terbatas pada pendidikan semata.

Saya percaya, semua hal ini bisa terwujud tidak hanya atas usaha Indonesia Mengajar saja. Di balik itu, ada berbagai pihak yang turut mendukung Indonesia Mengajar sehingga Indonesia Mengajar bisa berkembang seperti sekarang dan menghasilkan alumni Pengajar Muda yang berkualitas, calon pemimpin masa depan.

Sejak awal berdirinya, Indonesia Mengajar mengajak semua pihak untuk ikut terlibat dan berkontribusi dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Pendidikan adalah tanggung jawab setiap orang. Sehingga, pendidikan harus diupayakan bersama dalam sebuah koridor bernama gerakan pendidikan.

BNI (Bank Negara Indonesia), salah satunya. Sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang perbankan, BNI mempunyai berbagai kegiatan tanggung jawab sosial. Hal ini seperti tercantum pada Peraturan Menteri BUMN No. 05/MB/2007 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Dengan tema ‘Bersama Membangun Negeri (BNI Berbagi)’, BNI bekerja sama dengan berbagai institusi untuk meningkatkan dampak positif dan manfaat keberadaan BNI di tengah masyarakat demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Sejak tahun 2012 hingga sekarang, BNI mendukung Indonesia Mengajar sebagai Mitra Pendamping di SD-SD penempatan Pengajar Muda. BNI mendukung pengiriman Pengajar Muda yang bertugas di 46 SD di enam kabupaten di seluruh Indonesia. Angka 46 sendiri diambil dari tahun berdirinya bank pertama di Indonesia ini, 1946. Adapun keenam kabupaten tersebut, yaitu Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau, Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat, Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Rote Ndao Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Sangihe Provinsi Sulawesi Utara, dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat Provinsi Maluku.

Sebagai alumni Pengajar Muda yang pernah bertugas di daerah, saya berterima kasih dan mengapresiasi dukungan yang diberikan BNI kepada Indonesia Mengajar. Terbayang dalam kurun waktu tiga tahun, BNI andil dalam melahirkan alumni Pengajar Muda yang tersebar di 46 SD di enam kabupaten di seluruh Indonesia. Bagi saya, lagi-lagi, ini bukan melulu tentang pengiriman tenaga guru atau pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang menjadi lebih ‘semarak’ dengan kehadiran Pengajar Muda di ruang kelas di sebuah pelosok desa. Lebih dari itu, dukungan yang diberikan BNI kepada Indonesia Mengajar adalah dukungan terbentuknya embrio-embrio pemimpin masa depan Indonesia dari pemuda-pemuda terbaik yang kaya akan pemahaman ibu pertiwi untuk dibanggakan di level dunia. Sungguh sebuah prestasi tersendiri dari sebuah institusi.

Menutup tulisan ini, saya meminjam kata-kata dari presiden pertama Indonesia, Soekarno, yang sampai sekarang masih sangat ampuh untuk membakar sumbu semangat generasi muda di Indonesia, “Berikan aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Ya, BNI ada di dalamnya, bersama membangun negeri.

Walaupun sudah purna tugas sebagai Pengajar Muda-Indonesia Mengajar, hubungan antara ibu guru dengan muridnya tidak begitu saja hilang. Masih melekat erat, sekalipun saya sudah berada jauh dari daerah penempatan saya di Pulau Bawean.

“Ibu sedang apa?” atau “Ibu lagi ngapain? (gaya bahasa sms yang seperti ini bukan bahasa asli daerah lho, terpengaruh tontonan di TV)”, itulah dua tipe sms yang sering saya terima dari murid saya ketika mereka mengirim sms. Sepertinya, murid saya sangat rajin dan sangat ingin tahu apa yang sedang di lakukan oleh ibu gurunya.

Sungguh unik beberapa waktu yang lalu. Sms pertama saya terima pukul 09.00 pagi. “Ibu sedang apa?” begitulah sms yang sama terima. Karena sedang menonton TV, jadi saya jawab “sedang menonton TV”. Kemudian, pukul 06.00 petang, lagi-lagi, masih dengan pengirim yang sama, “Lagi ngapain bu?”. “Lagi menont…” saya tiba-tiba menghentikan jari saya yang asyik memencet keypad. Ups! Apa jadinya jika si murid tahu sejak pagi gurunya hanya menonton TV saja, walaupun pada saat itu saya memang sedang menonton City Hunter, drama korea favorit saya. “Ibu sedang menantikan adzan magrib, mau sembahyang. Kamu tidak ngaji?” begitulah akhirnya saya membalas sms murid saya.

Hehe, sedikit pencitraan memang. Si Ibu Guru ‘sedikit’ nakal kali ini. Maksudnya baik kok. Walaupun sebenarnya, terlihat jelas ‘monopoli’ orang dewasa yang pandai memainkan kata-kata, atas anak-anak yang pada dasarnya ingin tahu dan mmm … kangen bu gurunya.

“Ah, Nak, Ibu juga kangen. Kapan kita main bareng lagi?” :”)

PEMANDANGAN DI PULAU BAWEAN

Karya: Ainul Yakin
SD Negeri 2 Kepuh Legundi
Tambak – Pulau Bawean

Bawean sangat indah. Banyak pegunungan dan hutan yang lebat. Selain pegunungan dan hutan, ada juga Danau Kastoba dan air panas. Dana Kastoba ada di Desa Pasar dan air panas ada di Desa Kepuh.

Kondisi di Bawean sangat nyaman karena di sekelilingnya banyak pohon sehingga udara di Bawean waktu musim panas menjadi sejuk. Kalau musim hujan, di Bawean sangat dingin sehingga banyak orang yang sering tidur karena musim hujan enak untuk tidur.

Di Bawean, ada air terjun Lanthong. Air terjun di sana sangat deras sehingga kalau hari Minggu banyak orang yang datang ke sana. Di Bawean, juga ada lapangan terbang tapi belum jadi. Kalau lapangan terbangnya sudah jadi, pasti banyak turis yang berdatangan sehingga Bawean menjadi ramai.

Selain itu, ada gunung yang sudah mati. Namanya Gunung Gigir. Gunung Gigir menjadi tempat untuk bermain baling-baling atau dalam bahasa Bawean disebut ‘ater-ateran’. Kalau musim panen, banyak orang yang bermain baling-baling sehingga di Gunung Gigir menjadi ramai.

DANAU KASTOBA

Karya: Buang
SD Negeri 2 Kepuh Legundi
Tambak – Pulau Bawean

Pagi yang ceria, mentari bersinar begitu indah, ditambah dengan embun pagi yang menebarkan bau basah. Di saat aku terjaga dari bangun tidurku. Lalu, bersiap-siap untuk melakukan perjalanan menuju Danau Kastoba.

Kami melakukan perjalanan ke sana selama satu jam. Kami membawa mobil ke sana di perjalanan menuju Danau Kastoba. Danau Kastoba terletak di Desa Candi. Aku dan keluargaku asyik mengobrol dan membayangkan betapa indahnya pemandangan di Danau Kastoba.

Ini adalah pertama kali aku berekreasi ke Danau Kastoba. Kami melewati banyak desa untuk menuju Danau Kastoba. Setelah sampai di sana, kami menaiki tangga yang sangat panjang untuk mencapai ke tempat tujuan. Beraneka pohon tumbuh di sepanjang jalan.

Setelah sampai di Danau Kastoba, aku sangat kagum melihat hamparan danau yang begitu luas. Airnya begitu jernih, dikelilingi banyak pohon. Ayah dan adikku sibuk memancing di sana. Suasananya sangat indah dan sejuk sekali. Tanpa terasa begitu banyak waktu yang kami habiskan. Hari sudah larut siang. Lalu, kami sekeluarga bergegas pulang.

Sebenarnya, aku tidak ingin pulang karena di sana begitu indah dan sejuk sekali. Itulah pengalamanku saat pergi ke Danau Kastoba.

GUNUNG LANCANG

Karya: Riza Orlina
SD Negeri 2 Kepuh Legundi
Tambak – Pulau Bawean

Di Bawean, banyak pegunungan. Saya sangat senang sekali pergi ke gunung. Pada hari Jumat, saya bermain bersama teman-teman tapi saya sangat senang sekali karena gunung di Bawean tidak ada yang aktif.

Saya dan teman-teman sangat senang melihat pemandangan di pegunungan dan bisa melihat sawah yang sangat indah. Kata orang, pegunungan itu diberi nama Gunung Lancang. Di sana, saya sering menanam singkong dan kacang. Di sana juga banyak rumputnya.

Kadang-kadang, saya dan teman-teman mengambil rumput ke Gunung Lancang. Saya sangat sedih waktu itu karena teman saya terjatuh dan kakinya terluka. Saya langsung mengambilkan obat-obatan seperti daun-daunan. Setelah diberi obat, teman saya bilang sudah tidak terasa sakit dan saya ikut senang kalau sudah tidak sakit lagi.

Gunung Lancang sangat indah dan saya sangat senang. Kalau sedang sedih, saya sering bermain ke sana.

KEINDAHAN PANORAMA PUNCAK GUNUNG GIGIR

Karya: Jumaidah
SD Negeri 2 Kepuh Legundi
Tambak – Pulau Bawean

Pagi hari yang cerah, mentari bersinar begitu indah. Kicauan burung-burung menambah keindahan panorama gunung Gigir. Rumah-rumah penduduk yang terlihat menambah suasana keindahan yang ada di desa kami.

Pada hari Minggu, di waktu senggang, saya dan kakak saya selalu bermain ke puncak Gunung Gigir. Rumah-rumah dan penduduk yang terlihat menambah suasana keindahan yang ada di desa kami.

Perjalanan yang kami tempuh cukup melelahkan karena kami harus mendaki gunung untuk mencapai puncak Gunung Gigir. Perjalanan itu sangat berarti buat kami. Sejuknya angin yang bersemilir yang menerpa ilalang-ilalang menambah suasanan keindahan di sana.

Banyak sekali jenis tumbuhan yang ada di sana. Terik matahari pun tak terasa. Kami bisa berteduh di bawah pepohonan tersebut. Setelah sampai di puncak Gunung Gigir, kami asyik bermain bersama, berkejar-kejaran di ilalang-ilalang. Tanpa terasa banyak waktu yang kami lewatkan bersama, lalu kami istirahat sejenak.

Tiba-tiba, kakakku memanggilku. Dia menyuruhku untuk membantunya meneliti tumbuhan apa saja yang ada di sana. Dengan sangat senang, aku membantunya.

Aku mendapatkan banyak pelajaran dari kakakku. Mulai dari belajar tumbuhan dari tingkat rendah sampai tumbuhan tingkat tinggi, mulai dari proses pertumbuhannya sampai proses fotosintesis. Kakakku menjelaskan dengan sangat rinci kepadaku. Setelah selesai melakukan penelitian, kami bergegas pulang karena hari sudah larut siang.

Itulah pengalamanku saat bermain ke Gunung Gigir. Perjalananku sangat mengesankan. Di samping itu, banyak sekali ilmu pengetahuan yang aku dapatkan.

PANTAI DI BAWEAN

Karya: Nur Atika
SD Negeri 2 Kepuh Legundi
Tambak – Pulau Bawean

Pada hari libur sekolah, aku dan teman-temanku berlibur ke pantai. Pemandangan di pantai indah sekali. Banyak pepohonan seperti pohon bakau. Pohon bakau sangat bermanfaat bagi laut karena dapat mencegah abrasi. Kita dapat bermain pasir dengan asyik tapi kita harus ingat waktu. Pada saat bulan purnama, keadaan air di laut menjadi surut. Pada saat malam hari, banyak nelayan pergi ke pantai untuk mencari ikan. Aku pernah melihat nelayan baru datang dari pantai. Aku melihat ikan yang dibawa oleh seorang nelayan ternyata besar-besar.

Tapi tidak semua orang datang ke pantai. Mungkin cuma sedikit karena kebanyakan orang yang datang ke Grujukan Lanthong. Mau tahu kenapa orang senang datang ke Grujukan Lanthong? Karena air di Lanthong lebih indah daripada di pantai. Nah, itulah mengapa banyak orang yang datang ke Lanthong.

“Bu Keti!”
“Itu Bu Keti!”
“Bu Keti datang!”
“Bu Keti, Bu Ketiiiiii…”

Begitulah cara anak-anak itu menyambut saya dari kejauhan. Saya yang tergopoh-gopoh berjalan sambil memegang payung hijau bermotif bunga hanya bisa membalasnya dengan senyuman. Merasa mendapat sambutan yang hangat, anak-anak itu semakin bersahutan memanggil nama saya sampai riuh. Ketika saya sudah dekat pun, mereka masih menyapa saya riang, khas anak-anak sekali. “Bu Ketiiiiiii,” kata seorang anak sambil tersenyum manja kepada saya.

Siapakah anak-anak itu?

berfoto bersama di kantor guru

Mereka adalah anak-anak di Dusun Burnei (bukan Brunei Darussalam negara tetangga kita lho!). Dinamakan Dusun Burnei karena di sana banyak tumbuh pohon Burnei yang buahnya kecil-kecil seperti cherry dan sedikit asam jika dimakan.

Setiap hari Senin, Selasa, dan Rabu, saya mengajar di kelas bantu MTs Nurul Amin di Dusun Burnei. Disebut kelas bantu karena di Dusun Burnei sendiri sebenarnya tidak ada MTs (Madrasah Tsanawiyah, sekolah Islam setaraf SMP), hanya ada MI (Madrasah Ibtida’iyah, sekolah Islam setaraf SD). MTs Nurul Amin sebenarnya terletak di Dusun Gandariyah. Karena hampir semua murid MTs berasal dari Dusun Panyalpangan dan Dusun Burnei, dan terlalu jauh jika harus bersekolah ke Dusun Gandariyah, maka dibuatlah kelas bantu di Dusun Burnei, meminjam gedung MI. Anak-anak di Dusun Burnei itulah yang tidak pernah absen menyambut kedatangan saya di hari saya mengajar. Mereka bisa mengenali saya dengan mudah dari payung hijau motif bunga-bunga yang selalu saya pakai.

Ketika saya mengajar anak-anak MTs, kepala-kepala mungil itu selalu menyembul dari balik jendela yang saya biarkan terbuka. Entah sekedar ingin melihat saya mengajar, ingin ikut serta belajar, atau hanya mencari perhatian saja. Sebenarnya, saya tak terlalu mempermasalahkannya. Hanya saja, ketika mereka mulai memanggil saya dengan nama ‘Ibu Keti’, rasanya ingin tersenyum, menahan tawa. Saya merasa lucu sendiri. Seingat saya, saya pernah berkenalan dan menyebut dengan jelas bahwa nama saya adalah, ‘Hety’. Tapi lagi-lagi, mereka hanya meringis tanpa rasa bersalah dan berguman, ‘Bu Keti’. So, resmi sudah, saya lebih dikenal dengan nama ‘Ibu Keti’ daripada ‘Ibu Hety’ di Dusun Burnei.

Saya dan Anak anak MTs Burnei

Murid-murid MTs Nurul Amin

Dulu, kata mama, papa, dan kakak, saya adalah orang penakut di seluruh dunia. Gelar itu berhasil saya dapatkan karena sewaktu kecil, jika lampu di rumah mati, hal yang saya lakukan pertama kali adalah mencari tangan dan kaki orang terdekat yang bisa saya pegangi. Sama sekali tidak berinisiatif untuk mencari senter, lilin, atau sumber cahaya lainnya. Bahkan, jika saya di rumah sendiri, saya akan menyalakan semua lampu di rumah. Saya akan mengurung diri di kamar, tak berani keluar. Jika ada yang mengetuk pintu, saya biarkan saja, pura-pura tidak mendengar. Sampai-sampai, pernah suatu ketika, yang mengetuk pintu adalah mama. Karena tak kunjung saya bukakan pintu, akhirnya mama menelepon, ”Adiiiiiik, bukain pintu! Mama di luar, cepat!

Sekarang, setelah sudah besar, saya hanya bisa tertawa sendiri ketika mengingat semua itu. Sungguh, betapa takutnya saya akan kegelapan. Sekarang, setelah menjadi guru, saya tidak boleh seperti itu. Saya selalu menasehati murid-murid saya untuk berani. Yah, minimal berani maju ke depan kelas, berani mengungkapkan pendapat, dan berani untuk mengakui kesalahan yang sudah diperbuat. Kita, sebagai manusia, hanya takut kepada Tuhan, sang pencipta, begitu nasihat saya.

Tapi sepertinya, saya salah. Di kelas, ada satu murid saya yang lucu sekaligus horor. Kadang secara bersamaan, saya bisa merinding sekaligus tertawa dibuatnya. Mengapa bisa begitu? Karena hal-hal yang diungkapkannya selalu berbau mistis, horor, dan menyeramkan. Lucunya, pada dasarnya, dia adalah orang yang penakut. Aneh bukan?

Berikut adalah beberapa perbuatan ‘horor’ murid saya di kelas:

Ketika diminta untuk memparafrasekan sebuah puisi
Pertanyaan Ujian Akhir Sekolah Bahasa Indonesia:
Ada tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Pada sore itu

Tulislah parafrase yang sesuai dari puisi di atas!
Pada dasarnya, parafrase adalah mengubah puisi menjadi sebuah cerita. Nah, jawaban Inul, salah satu murid saya yang penakut tapi dekat dengan hal-hal ‘horor’ adalah: “…Pada sore itu ada tiga anak kecil datang ke Salemba dengan langkah malu-malu. Tidak tahu siapa mereka. Mungkin mereka adalah setan penunggu kubur…”. Kontan saja, saat mengoreksi jawaban itu, saya terbahak sejadi-jadinya. Murid saya lainnya, yang sedari tadi mengamati raut muka saya yang serius mengoreksi ujian, tiba-tiba berkatan, “Bu Hety kenapa tertawa sendiri?”

Membuat Puisi
Ketika diminta untuk membuat puisi bertema ‘Jasa Guruku’, dia adalah satu-satunya anak yang menganggap guru dalam puisinya sudah meninggal. Ini dia puisinya:
Guruku
Engkaulah penerang dalam hidupku
Tanpamu, aku tidak bisa apa-apa
Walaupun aku nakal
Kau tetap mendidikku
Dengan sabar dan penuh kasih sayang
Walaupun sekarang kau sudah tiada,
Semoga amal perbuatanmu diterima di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa

Deg! Sebagai salah satu orang yang saat ini menjabat sebagai guru Inul di sekolah, jantung saya sempat berdegub.

Ketika belajar membuat kalimat tanya
Suatu hari, saya dan murid-murid saya sedang belajar tentang kalimat tanya dalam bahasa Indonesia. Saat itu, di luar, hujan sedang mengguyur deras. Suasana pun menjadi gelap karena sekolah saya tidak memiliki saluran listrik. Saya meminta salah satu murid saya, Inul, untuk membuat kalimat tanya dengan kata tanya ‘kapan’. Dengan lantang dan mantap, Inul langsung berkata, “Kapan kamu meninggal?” Deg! Sebenarnya tidak salah sih, tetapi seisi kelas langsung terdiam mendengar kalimat Inul.

Itulah beberapa kejadian yang saya alami dengan murid saya, si penyuka horor. Tak terasa kurang dari sebulan lagi saya sudah pulang kembali. Maka, sebelum saya pulang, saya ingin menuliskannya sebagai kenang-kenangan yang tak pernah saya lupakan seumur hidup, selama menjadi guru.

Inul, Inul, Bu Hety akan merindukanmu!

Perkenalkan, namanya Fathol Mu’in. Teman-temannya memanggilnya ‘Ook’. Entah bagaimana ketiga huruf itu bisa bersatu sampai menjadi sebuah panggilan baru. Katanya sih, agar Ook lebih mudah dan lebih cepat akrab dengan teman-temannnya. Maklum, Ook belum genap tiga bulan tinggal di dusun ini. Dia masih baru, baru sekali. Mungkin, jika dibandingkan dengan saya yang sudah tujun bulan ada di sini, Ook kalah hapal tentang seluk beluk dusun ini.

Aksi Ook bertopi ember saat gosok gigi bersama di sekolah

Sebenarnya, Ook adalah putra Bawean. Kedua orang tuanya adalah orang Bawean asli. Tetapi, Ook lahir dan besar di Malaysia. Jangan tanya mengapa. Orang tua Ook bekerja di Malaysia sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia), sudah bertahun-tahun. Kakak pertama Ook yang sekarang sudah berusia 18-an pun juga lahir di Malaysia (Ook adalah anak ketiga dari tiga bersaudara). Orang Bawean memang banyak yang merantau ke Malaysia untuk mencari nafkah. Sehingga, di sini dapat kita temui dengan mudah, anak-anak yang lahir di Malaysia. Sayangnya, hampir semua anak TKI, termasuk Ook, tidak bisa bersekolah di Malaysia. Akhirnya, demi kepentingan masa depannya, Ook dipulangkan ke Bawean oleh kedua orang tuanya agar bisa bersekolah.

Di Bawean, Ook tinggal di rumah paman dan bibinya. Kebetulan, paman Ook adalah seorang guru di SD tempat saya mengajar sekarang. Dengan begitu, Ook bisa didaftarkan masuk sekolah dengan mudah. Berdasarkan umurnya, akhirnya, Ook resmi duduk di bangku kelas 3.

Walaupun sudah duduk di kelas 3 SD, jangan heran jika Ook belum lancar membaca. Ook masih terbata-bata ketika disuruh membaca. Sebaliknya, ketika diminta untuk berbicara, Ook bisa fasih berbicara dengan bahasa Melayu. Wali kelas tiga meminta saya secara khusus untuk memberikan les membaca untuk Ook. “Ya, siapa tahu, Bu. Guru perempuan biasanya lebih sabar dan telaten menghadapi siswa,“ katanya waktu itu. Saya hanya tersenyum ketika mendengarnya. Saya memang satu-satunya guru perempuan di sekolah ini. Jika ada masalah yang berkaitan dengan ketidak lancaran belajar siswa, alasannya selalu sama, “Siapa tahu dengan guru perempuan bla-bla-bla…”. Akhirnya, saya pun menyanggupinya karena sudah menjadi tanggung jawab saya sebagai seorang guru yang membantu muridnya ketika mengalami kesulitan, lebih-lebih kesulitan membaca. Ya, dari situ saya baru mengenal siapa Ook.

Semuanya seperti mimpi. Baru kemarin wali kelas tiga meminta saya, keesok harinya saat berangkat ke sekolah, saya berpapasan dengan Ook di jalan. Seolah sudah kenal dekat, Ook langsung menyapa saya, tanpa basa-basi, “Bu, saya ingin belajar membaca!”.

“Iya. Ke rumah aja. Ibu punya banyak buku” jawab saya ramah sambil menutupi rasa keterkejutan saya bertemu dengan Ook.

Sejak peristiwa pagi itu, Ook selalu datang ke rumah. Berbagai buku dan majalah anak-anak di ‘perpustakaan mini’ saya dilahapnya. Kadang, kalau saya sedang tidak ada di rumah, dia tetap meminjam buku.

Walaupun demikian, selama beberapa waktu, Ook sempat menghilang. Entahlah kemana. Ia tidak lagi datang ke rumah. Saya sempat cemas juga. Mngkin dia jenuh, bosan, atau sedang tidak bersemangat. Tetapi tiba-tiba, sore itu, semua kecemasan saya tidak beralasan. Saya melihat Ook sudah berada di depan pintu rumah. “Bu, mau membaca buku,” katanya meminta izin dengan senyuman yang khas ‘Ook sekali’.

Setelah memilih buku, ia duduk di lantai dan menghadap saya yang sedang mengerjakan tugas. “Bu, saya sudah bisa membaca lho!,” katanya bangga tanpa bernada sombong.

“Oh, ya? Coba, ibu ingin dengar,” jawab saya antusias.

Seperti kebanyakan, orang pasti akan membaca isi bukunya, ceritanya. Ya, semula, saya kira Ook akan melakukannya. Tapi saya salah. Saya baru sadar ketika Ook membaca beberapa paragraf. Olala, yang dibaca Ook dengan lancar dan lantang adalah kata pengantar. Ya, kata pengantar! Bagian yang tidak pernah saya duga sebelumnya. Saya terharu, bahkan Ook membaca sampai tanggal dan penulisnya.

Kata pengantar dari buku kali ini memang benar-benar istimewa karena Ook yang membaca. Ook yang sudah lancar membaca. Saya sebagai gurunya hanya bisa tersenyum bahagia.

Manisnya bisa seribu kali gula
Pahitnya tak seberapa, sungguh!
Ini tentang persahabatan
Saling bersatu, saling bertukar perasaan
Saling membantu, saling pengertian
Di Bawean, semua itu berawal
Ini bukan sekedar program rekaan
Hari-hari yang menyatukan kami berenam
Menjadi sahabat sekaligus keluarga
Hebat bukan?
Curhat, canda, kritik, saran adalah isi toples persahabatan
Sudah sebelas bulan berjalan
Kami makin akrab, kian dekat
Tak terbayang ke depan
jika waktunya perpisahan,habis masa pengabdian
kami harus kembali lagi ke peraduan
merajut kembali kehidupan, melanjutkan cita-cita dan impian
Tidak, tidak, tidak!
Belum terpikirkan sampai ke situ
Bahkan tak ada nyali
Walau kini, ternyata tinggal satu bulan lagi
Bisa sih dihitung dengan jari
Tapi lagi-lagi tak ada nyali, aku tak berani

Kami dekat, kami akrab, kami keluarga
Pengajar muda angkatan 2 penempatan pulau Bawean
2 laki-laki, 4 perempuan, itulah kami,
Kami, bala bawean
Semuanya akan menjadi kenangan
Kami yang gemar mention-mention-an
Kami yang suka main komunikata
Kami yang jago makan sambal dan karaokean
Kami yang hobi jalan-jalan
Kami yang bercanda kocak membully orang
Kami yang suka berfoto
Kami, kami, kami ….

Ah, tulisan ini berakhir dengan twit komplit mention berenam:
Dear @putri_putcha @ichamaisya @lastianihantoro @tidarrachmadi @wintanghk ga kebayang rasanya klu bsk prpisahan bala2. There s gudbye in every hello, yea? #balabawean

Selamat datang di kebun binatang kehidupan. Selama hampir setahun ini, banyak hal yang terjadi. Selama setahun ini juga, banyak hal yang bisa dipelajari, seperti ‘berdamai’ dengan binatang-binatang yang ditakuti. Habis mau bagaimana lagi? Hidup sendiri sama dengan harus bisa menghadapi hal-hal yang tidak disukai. Sebagai orang yang takut kucing, takut anjing, dan keluarga besar ayam (ayam jago, ayam betina, dan anak ayam), saya mempunyai kisah tersendiri.

>> Anjing
Berangkat ke sekolah, dihadang anjing? Sering. Sampai-sampai, saya harus berputar arah untuk sampai ke sekolah. Dikejar anjing? Pernah! Walaupun beragama Islam, penduduk Bawean ada yang memelihara anjing. Tujuannya, untuk mengusir babi hutan yang sering merusak lahan pertanian. Anak-anak di sekolah sampai memberikan tips kepada saya agar tidak dikejar anjing. “Bu Hety pura-pura membawa batu. Bu Hety jangan lari. Bu Hety jongkok. Bu Hety diam jadi patung,” begitu nasihat anak-anak saya ketika tahu gurunya dikejar anjing ketika berangkat ke sekolah.

>>Anga Putih Leher Panjang
Bagi saya, angsa putih leher panjang sangat ganas. Walaupun demikian, banyak penduduk yang memeliharanya. Beberapa kali, saya sempat mengalami tragedi dengan si angsa putih leher panjang. Saya selalu nyaris dicium angsa. Ya, selalu. Selain itu, saya juga pernah dihadang sekawanan angsa yang mengincar kaki saya? Yup! Sudah langganan, saya sampai hapal. Pokoknya, ketika leher si angsa sudah menjulur ke depan, mereka pasti sudah siap untuk mengejar saya. Herannya, orang-orang hanya berkata, “Ambil batu, Bu. Lempar!”. Bagaimana saya bisa mengambil batu jika saya sudah panic to the max gara-gara dikerjar angsa???

>>Ayam
Dikagetin ayam? Ya. Ini bagian yang tidak saya suka. Sering sekali ayam melintas di jalan tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri. Saya yang sedang naik motor terpaksa harus mengerem mendadak untuk memberi kesempatan pada si ayam.

Selain itu, ayam di sini adalah ayam yang agresif dan tak pantang menyerah. Ketika sedang mencuci piring di luar, tanpa ba-bi-bu, si ayam langsung menyerbu memperebutkan sisa-sisa makanan. Tinggal saya, yang takut ayam, jejeritan. “Hush, hush ayam!” begitu usir saya. Tapi dasar ayam agresif dan tak pantang menyerah, si ayam justru semakin tertantang untuk mendekati saya. Huwaaa. Akhirnya, langkah terakhir yang saya tempuh adalah mengusir ayam dengan air. Ibu asuh saya hanya geleng-geleng kepala, “Airnya habis, Het. Kamu nanti tidak jadi cuci piring!”

>>Kucing
Kucing yang tak takut air? Saya bisa menemukannya di sini. Bagi yang sudah kenal saya, pasti tahu kalau saya sangat anti dengan hewan yang satu ini. Di daerah penempatan, saya harus bisa survive dengan keberadaan kucing. Beraneka cara sudah saya coba ketika kucing mulai mendekat mengharap belas kasihan saya. Cara yang paling ekstreem, saya siram air (kabarnya, kucing takut air). Sialnya, si kucing justru semakin intens mendekati saya. Huwaaa!

Satu kisah lagi tentang binatang yang namanya berawalan huruf ‘K’ ini. Dulu, di awal penempatan, kamar saya belum ada pintunya. Hanya sehelai korden sebagai penutupnya. Suatu pagi,saat bangun tidur, saya jantungan setengah mati. Ketika membuka mata, di samping saya sudah ada kucing abu-abu yang dengan anggun nangkring di sisi saya. Kontan, saya terlonjak kaget. Si kucing merespon kekagetan saya hanya dengan mengeong tanpa dosa dan langsung melompat turun tempat tidur. @@$%^%&**((!

>>Tikus
Kamar kemasukan tikus? Jujur, saya tak pernah berhadapan dengan hewan ini. Di Jogja, ketika ada tikus masuk ke rumah, saya langsung mengandalkan mama dan kakak saya untuk mengusirnya. Di daerah penempatan? Jangan tanya! Hewan ini berhasil membangunkan saya pukul 2 dini hari. Cit, cit, cit, begitu bunyinya. Terpaksa, dengan mata setengah terpejam saya mem-packing semua barang saya dan menaikkannya ke atas lemari. Lantai kamar bersih. Silakan pak tikus berlarian ke sana-ke mari, saya tak peduli. Saya ber-positive thinking, si tikus tak akan naik ke tempat tidur. Zzz…

>>Tokek
Kamar kemasukan tokek? Selama ini, saya kira saya hidup sendiri di kamar yang berukuran 2 x 2,5 m ini. Ternyata, saya salah besar. Ada seorang makhluk yang ditakdirkan Tuhan untuk menemani hari-hari saya. Dialah Tokek. Hewan yang mempunyai bakat menyanyi, “…Ckckck, tokek, ckckck, tokek…” ini hidup nyaman, tentram, damai di belakang almari baju saya, tanpa saya pungut uang sewa. Catat!

>>Kadal
Ada kadal nyebrang jalan? Saya kadang masih bertanya-tanya dalam hati. Di manakah sebenarnya saya ditempatkan selama setahun ini, di Baweankah atau di taman safari? Bagaimana tidak, ketika naik motor menembus hutan, pasti saya berpapasan dengan kadal kecil. Orang Bawean menyebutnya ‘barekai’. Ketika saya bercerita kepada orang-orang, mereka malah berkata santai,” Bu Hety belum ketemu yang besar sih?”. Heh? Saya hanya melongo.

>>Monyet
Selain kadal, ada juga monyet. Tetangga saya banyak yang memelihara monyet. Sebenarnya, kasihan juga saya. Kandangnya sangat tidak berperikehewanan. Bayangkan, rumahnya hanya terbuat dari kayu seukuran kaleng roti. Di siang hari, mereka hanya dibiarkan bergelantungan ke sana-ke mari dengan rantai yang selalu setia mengikat lehernya.

Ada certia lucu. Di samping sekolah, ada rumah yang memelihara monyet. Setiap pagi berangkat ke sekolah, si monyet selalu keluar dari kandangnya dan hanya menatap saya yang melintas di depan kandangnya. Saya selalu iseng berkata kepada si monyet, “Selamat pagi, Nyet!” Hehe.

Hampir sama dengan kadal. 75% wilayah Pulau Bawean adalah hutan. Hutan yang masih sangat alami. Layaknya ada gula ada semut, maka tak salah jika, ada pohon ada monyet. Kadang-kadang, ketika melintasi hutan, pasti ada monyet yang melintas. Kadang-kadang sendirian, kadang-kadang bersama-sama layaknya keluarga monyet yang hendak tamasya.

>>Tongo
Sebenarnya, masih ada. Masih ada serangga aneh yang setia masuk kamar tanpa permisi? Kecoa, capung, nyamuk, semut, dan Tongo. Oh, ya, Tongo. Belum lengkap jika tidak saya perkenalkan. Bagi saya, Tongo ada UFA alias Unidentified Animal. Tidak tahu pasti bagaimana wujud si Tongo. Dia hanya meninggalkan gigitan ganas yang membekas di kulit. Warnanya hitam, seperti tahi lalat.

Dulu, di Jogja, saya mengenal hewan yang serupa. Namanya Tengu. Hewan kecil kasat mata. Jika sudah menggigit di kulit, hanya meninggalkan bekas kemerahan yang bermata. Baik Tongo dan Tengu, sama-sama menghasilkan gatal yang luar biasa.

Minyak kayu putih, balsam, minyak kampak, bedak gatal, lotion gatal, salep, tak ada yang mempan. Saya sampai berprasangka, mungkin si Tongo hanya dilawan dengan kesabaran. Kesabaran orang yang digigitnya untuk tidak menggaruk.

Demikian, kebun binatang kehidupan pengajar muda. Satu tahun mengajar, berbagai hewan telah menginspirasi kehidupan saya di daerah penempatan.

Vira, itu namanya. Bagi saya, anak itu istimewa. Pertama kali melihat dan akhirnya dapat berkenalan, saya simpulkan, saya jatuh cinta padanya.

Vira berkulit putih dan berambut hitam legam sebahu. Anaknya imut dan lucu. Dengan ciri seperti itu, dapat dipastikan Vira bukan seperti anak kebanyakan. Ya, ayah dan ibunya memang bukan asli dusun yang saya tinggali sekarang tapi asal perantauan.

Sejak ayah dan ibunya berpisah, Vira tinggal bersama nenek dan bibinya. Ayah dan ibunya, masing-masing, telah menikah lagi dengan orang lain. Sedih memang. Tapi semua itu tak terpancar dari paras ayunya. Tak ada yang menduga. Vira tetap ceria menjalani hidup dan bermain bersama teman-temannya.

Tiap melihat Vira, saya selalu bertekad agar dapat membuatnya tersenyum. Lebih-lebih, kalau Vira bisa tertawa, berbunga-bunga hati saya melihatnya. Setiap pagi, saat berpapasan di jalan, saya pasti selalu mengajak Vira untuk ber-high five. “Pagi Vira? Bagaimana kabar hari ini?” goda saya. Kalau sudah saya goda seperti itu, Vira pun langsung mengobral senyum, “Pagi, Buuuuu, baik, Buuuuu!”

Pernah suatu siang, sepulang sekolah, Vira datang ke rumah. Setelah memilih buku yang akan dipinjamnya, saya tahan Vira agar tinggal sebentar di rumah. Iseng saya membacakan cerita untuknya. Vira pun senang sekali. Usai membacakan cerita, Vira yang ganti bercerita kepada saya. Mulai dari kelinci dan kucing peliharaannya sampai kisahnya sehari-hari. Saya ikut senang bisa mendengarkan sebagian kisah hidup Vira.

Beberapa hari ini, setiap malam, Vira selalu mengantar Titin ke rumah. Bukan tanpa alasan. Lomba menyanyi tingkat kecamatan sebentar lagi tiba. Titin akan mengikuti lomba itu mewakili SD tempat saya mengajar. Sebagai teman dekatnya, Vira pun rajin mengantar Titin. Sebenarnya tidak hanya Titin, ada juga anak-anak lain, seperti Zulaikha dan Mahmudah yang main ke rumah. Mereka senang sekali main ke rumah karena dapat membaca buku cerita di ‘perpustakaan mini’ saya. Malam itu, keisengan saya lagi-lagi muncul. Saya iseng mengajari anak-anak itu salah satu lagu daerah berjudul ‘Anak Kambing Saya’. Saya buka buku lagu-lagu wajib nasional dan mengajari anak-anak itu bernyanyi.

Baru beberapa kali menyanyi, anak-anak itu langsung mengerti. Ya, lirik dan lagunya memang mudah untuk diikuti. Apalagi, ketika bagian “… Caca marica, hey-hey…” . Coba tanya anak-anak seantero Indonesia, siapa yang tidak hapal? Begitu pula dengan Vira, Zulaikha, dan Mahmudah. Mereka dengan cepat hapal. Bahkan, Vira tak henti-hentinya menyanyikan lagu itu di depan Zulaikha dan Mahmudah yang berhenti menyanyi karena kecapekan.

“Lebur laguna reak,” kata Vira tiba-tiba, tanpa ditanya, sambil menunjuk sebuah halaman dari buku lagu-lagu wajib nasional yang sudah agak menguning termakan usia. Artinya, enak ini lagunya. Ada nada bangga dalam perkataannya. Mungkin, Vira bangga dapat menguasai lagu itu dalam hitungan menit. Senyum Vira mengembang. Dia tak henti-hentinya berdendang, apalagi bagian, “… Caca marica, hey-hey…”. Dia bersemangat sekali. Saya tertawa melihatnya. Setidaknya, malam ini saya berhasil membuat Vira bahagia dengan “…Caca marica, hey-hey”-nya.


Moral value of the story:

Malam itu, menjelang tidur, saya teringat Vira. Ternyata, kebahagiaan tidak melulu uang atau barang-barang yang dapat dibeli oleh uang itu sendiri. Kebahagiaan bisa datang dari hal terkecil sekalipun. Seperti angin, kebahagiaan datang tiba-tiba dan menyisakan rasa tersendiri untuk kita kenang. Ah, bahagia! Zzz…