Ini cerita Januari. Di saat orang-orang sedang riuh dengan euforia tahun yang baru, saya enggak mau kalah. Saya juga sedang ‘rumit’ dengan peran yang baru: jadi ibu!

Hari itu, hari pertama kembali bekerja setelah tiga bulan maternity leave. Secara fisik, enggak berubah. Tetap di rumah karena bekerja dengan sistem remote memang enggak butuh mobilitas. Di hari pertama itu, rasanya (kalau dikenang sekarang) masih kaku-kaku menyelami folder-folder dokumen kerja beraneka rupa. Jetlag, ya? Ledek teman saya. 

Tiga bulan bukan waktu yang sebentar. Lahiran September, Januari kembali bekerja. Nyatanya, itu cepat sekali. Cliche, ya!

Tiga bulan bukan liburan. Maternity leave bukan liburan. Alih-alih istirahat, saya merasa sedang ‘kuliah’ di akademi kehidupan. Kurikulum pembelajarannya? Ya, kurikulum jadi ibu.

Jujur, dengan peran baru sebagai ibu, sekaligus menjalani masa pemulihan, plus tuntutan belajar ‘how-to’ untuk merawat makhluk kecil ini (baca: Si Adek Bayi) membuat saya kewalahan. Dia seperti guci, fragile. Saya seperti satpam museum, menjaga agar guci tidak kenapa-kenapa ha-ha.

Bagaimana membedong, menggendong, merawat tali pusat, menidurkan, menyusui, memandikan, meredakan gumoh, memakaikan pampers, meredakan tangisan, membuat sendawa, memastikan alas tidurnya nyaman, memotong kuku, membersihkan upil, membersihkan pup … Haaaaaaaaaaaaaah! (ilustrasi: adegan Kevin teriak sekenceng-kencengnya sambil megang kedua pipinya di film Home Alone) 

.. kind of beautiful chaos.

Jadi ingat, seorang teman yang sudah jadi ibu lebih dulu sempat bilang, salah satu hal yang membahagiakan di hari-hari bersama adalah melihat Si Adek Bayi tumbuh dan berkembang, meninggi dan melebar. Ternyata itu benar. Rasa kewalahan dan pressure belajar ini-itu seakan terbayar kontan. 

Walau kini, saat kembali bekerja, spending time dengan Si Adek Bayi berkurang, semua masih menyisakan kesenangan. Mungkin ada kondisi yang tidak ideal tapi bisa diupayakan, kan? Enggak ada yang perlu dikhawatirkan. Your baby deserves a happy mother!

“Ok, welcome back, Hety!” sapa riuh WhatsApp grup, laptop, dan rupa-rupa dokumen kerja :))

“Semua akan takdir pada waktunya dan rencana membuat kita tertawa.”

21 September

Malam itu, semua nampak biasa dan baik-baik saja layaknya weekdays pada umumnya. Saya yang WFH akan tetap membuka laptop – mengerjakan apa yang bisa dikerjakan hingga larut, sambil menunggu Si Mas yang WFO. Tak ada yang aneh. Saya bisa tetap ‘on’ karena keriweuhan makin klimaks di penghujung cuti (maternity leave). Dalam satu minggu itu, saya merekap semua pekerjaan untuk diserahterimakan. Saya heran sendiri sebetulnya. Ini bukan kali pertama akan cuti panjang. Dibanding dulu saat cuti fellowship, kok yang sekarang berasa lebih ‘njomplang’ hectic-nya.

Saat Si Mas pulang, saking hepinya, saya pamer besok Jumat adalah hari terakhir kerja. Finally, setelah rencana cuti H-2 minggu dan H-1 minggu dari HPL kandas semua ha-ha (HPL saya 25 September, btw). Walau sudah larut, kami berdua lanjut bercerita ke sana-ke mari.

Cerita berakhir saat saya mulai mengantuk dan berbalik badan sambil memeluk guling karena badan pegalnya bukan main. Tidak ada 30 menit, mata ini terpejam, tetiba pesssssss. Ngompol! Aaaaaak …Saya langsung membuka mata dan mencoba mengenali apa yang barusan terjadi. Saat hamil tua seperti ini, jujur, ada saja yang terjadi di badan ini dan sayangnya, enggak ada di buku pelajaran Biologi. Jadilah, mengandalkan self awareness!

“Mas, kok aku ngompol ya? Aku mau pipis,” saya bangun tertatih, menuju toilet. Duduk di kloset, saya diam saja. Linglung. Saya coba ikuti apa yang akan terjadi selanjutnya. Ada aliran kecil yang sebentar-sebentar muncul. Berbekal info dari konten bidan-bidan kekinian di Instagram dan Youtube, saya basahi kertas lakmus dengan aliran misterius itu. Setengah basah, saya endus dan biarkan. Si kertas lakmus berubah warna.

“Mas ini ketuban deh, bukan pipis,” kata saya polos karena ngantuk. Harusnya saya yang pencemas ini akan dag dig dug duer karena mendekati showtime (baca: lahiran). Nyatanya, saya malah menolak ke rumah sakit saat Si Mas mengajak dini hari itu juga harus ke dokter.

Memang dasar pasangan milenial bermodal media sosial. Kami berdua clueless juga sebenarnya. Saya yang sering membaca konten kehamilan di media sosial ngotot tidak mau terburu-buru ke rumah sakit. Katanya, kalau baru bukaan satu, dua, tiga, istirahat di rumah saja daripada sampai rumah sakit malah diminta pulang karena dianggap terlalu dini. Sebaliknya, Si Mas ingin langsung ke rumah sakit agar bisa mendapat penanganan.

22 September, 00.08 WIB

Akhirnya, sebelum ke rumah sakit, kami coba chat rumah sakit sambil menonton beberapa video hasil searching di Youtube. Hasil YouTube-ing dengan keywords ‘kapan sebaiknya ke RS saat ketuban pecah’ ternyata tidak memuaskan kami. 

Buntu. Saya mengalah. Mas segera membangunkan mama di kamar sebelah sambil saya berganti baju. Baju saya, baju adik bayi, laptop, gymball, … (heEh, laptop, di saat seperti itu, saya masih berpikir bisa membuka laptop!) sudah siap diangkut di mobil.

Di tol, jalanan sepi sekali (di dalam mobil pun hening, tak ada percakapan di antara kami). Sesekali ada mobil atau truk yang lewat bisa dihitung dengan jari. Mengusir kantuk dan sunyi, saya cemili kurma yang sengaja saya bawa. Manisnya mampu membukakan mata. 

Sesampai di rumah sakit, saya diminta duduk di kursi roda. Kursi roda kali pertama dalam hidup. Biasanya saya yang diminta dorong, sekarang, saya diminta duduk. Oh ini ya rasanya! (Sempat-sempatnya saya mengagumi si kursi roda). Sementara Si Mas mencari parkir, saya didorong satpam menuju ruang periksa, menemui petugas jaga. Saat saya sebut ketuban sudah keluar, si petugas jaga (yang baru tahu mereka bidan) jadi lebih sat-set.

Ganti baju ya bu, diukur tensinya ya bu, gimana rasanya bu? Sederet pertanyaan bagai kembang api di malam tahun baru, jedar-jeder berulang. Karena ketuban ibu sudah rembes, ibu tidak boleh beraktivitas ya, tidak boleh turun dari bed, kecuali ke kamar kecil. Jeder! Ini letupan kembang api yang paling besar. Bye laptop! Bye gymball! Niat praktik senam untuk mempercepat pembukaan seperti yang dicontohkan bidan-bidan kekinian di media sosial kandas. Di sinilah saya mulai sadar, ternyata, ketuban rembes sudah gawat ya? Oh, baiklah!

Saya tiduran di kasur dengan baju rumah sakit dan Si Mas stand by di samping saya. Again, kami clueless untuk sekadar tahu, what’s next? Tiba-tiba petugas datang, menawari sederet menu yang bisa saya makan dini hari itu sambil menunggu. Dari sederet menu, saya memilih soto, my comfort food!

Sambil menyantap soto, saya teringat beberapa agenda yang harus saya kirim di hari Jumat. Sambil mengunyah, saya sibuk sendiri dengan handphone. Si Mas masih saja bercanda, “Di Gmail itu bisa di-setting send later, lho.” Rupanya, dia masih teringat tadi, saat saya kekeuh akan mengirim email Jumat pagi. Menurutnya, kalau bisa diatur otomatis, kenapa harus manual? Siapa yang menyangka kamu lahiran, katanya. Yah, namanya juga rencana versus realita, nobody knows.

Selesai makan soto, bidan (atau suster) yang berulang kali masuk kamar mengecek tensi dan infus, memberi aba-aba. Jam setengah 6, kita mulai ya, Bu? Hah, mulai apanya nih? batin saya. Saya mulai menabah-abahkan hati setelah cairan infus saya ditambahkan obat khusus. 

Singkat cerita, pagi itu, dengan satu rasa: mulas aduhai, saya mulai serangkaian seremoni melahirkan. Ternyata, saat sampai di rumah sakit, posisi sudah bukaan dua. Yok, bisa yok. Saya mencoba menyemangati diri sendiri — yang padahal lunglai karena tidak tidur sama sekali. 

Jika kamu tanya bagaimana melahirkan? Pokoknya, yang dikatakan dokter atau bidan di media sosial itu benar adanya. Sedari awal kehamilan, saya mengafirmasi proses melahirkan itu layaknya ujian praktik semasa sekolah. Ada waktu untuk mempersiapkan diri, mempelajari kisi-kisi materi, dan tiba saat ujian di mana kamu akan praktik tanpa bantuan siapapun, hanya kamu, dirimu. Mungkin karena afirmasi ala-ala itulah saya tidak begitu deg-degan. Semua rasa tegang sudah terkikis habis oleh rasa mulas dan nyeri di perut hu hu hu.

22 September, 07.49 WIB

Akhirnya, oeee … Ada tangisan bayi dan sorak sorai orang-orang yang ada di ruangan. Ada manusia kecil yang baru keluar dari badan saya. Oh ini ya yang namanya melahirkan? Saya speechless. Semua yang dirasa di badan ini saya batin saja. Saat Inisiasi Menyusui Dini (IMD), Si Adek Bayi hanya saya peluk sekenanya di dada, sampai-sampai mama berkomentar tajam, “Lhah, dek, bayine dicekeli,” sambil membetulkan posisi tangan saya yang melorot. Entah mengapa saya benar-benar tak ada energi :)).

To be continued …

*Dicekeli (bahasa Jawa) = dipegangi

Alhamdulillah. Welcome to the world baby boy! U’re already so loved ❤

Sore ini, tetiba tersenyum teringat kejadian yang amat sangat membekas di sanubari saking polosnya sebagai fresh graduate (mohon dibaca dengan satu tarikan nafas). Eh, nggak terlalu fresh sih, sudah terlempar di hutan setahun.

Kala itu, di sebuah wawancara kerja, pewawancara bertanya apa yang membuat saya seperti ini. Entah, saya tidak ingat betul pertanyaanya. Justru respon saya atas pertanyaan itu yang bikin saya terngiang-iang dan memerah pipinya. Begini jawabannya, “Saya percaya, di dunia ini, semua bisa dipelajari dan menyenangkan.” Pewawancara tersenyum penuh arti, di mana baru sekarang, semakin bisa saya terjemahkan arti senyuman itu. Iya, paham. Saya pasti nampak idealis bagai orang yang akan menyelamatkan dunia dengan kebisaan saya. 

Sore ini, saya malu. Dih! Jawaban itu sesungguhnya naif sekali. Saya sudah yakinkan diri, itu peristiwa sekian tahun lalu dan tak satupun bisa melihat pikiran saya saat ini. Hanya saya kok. Tapi, terbukti kan, sesuatu yang diingat adalah sesuatu yang paling menusuk di emosi. 

Kini, dengan saya yang sekarang, versi terbentur dan terpental sekian kali, dan bahkan (mungkin) belum ‘barang jadi’, makin meresapi. Oh hidup .. Idealisme itu punya siapa? Sang pemimpi yang yang rajin menaiki tangga ke langit karena dia percaya akan jatuh di bintang-bintang? Sang penguasa yang punya segala sumber daya karena semua ada di tangannya? atau, sesederhana orang yang belum tahu saja akan kenyataan hidup.

Hmm … 

Hore, pecah telor! Tulisan pertama di 2023. Set your expectation ya pemirsa.

*

Udah lama banget enggak nulis, berasa seabad. Di zaman sekarang, kombinasi era digital ketemu budaya 24 jam, menulis jadi pekerjaan yang menantang, menurutku. Terlebih yang sehari-hari membiarkan 10 jemarinya menari di atas tuts keyboard, beralih ke menulis tangan. Kaku. Aku. 

Mencoba melawan arus, di beberapa kesempatan, masih suka bawa buku notes dan pulpen di tas. Happy kalau disuruh ngisi formulir yang formatnya satu kotak satu huruf dan dialas papan jalan haha. Kebayang kan?

Menulis seharusnya nggak boleh rasis ya, membeda-bedakan. Tapi entah kenapa, aku selalu merasa beda. Banget! Makin ke sini, makin banyak nulis dokumen kerja, makin kehilangan energi untuk menulis yang kasual seperti blog dan cerita-cerita ‘receh is lyfe’. Tiga paragraf ini aja kupaksa. Entah, menurutmu ini gimana?

How can I get my energy back?

Ada yang bilang, banyak membaca bikin kamu nggak kehabisan kata atau gagasan saat menulis. Yah, jangankan membaca, menulis aja begini adanya. Membaca juga super duper menantang sekarang. Percaya? Di penghujung hari, mata biasanya udah lelah duluan setelah seharian menatap layar monitor. Iya, itu aku. 

Lucunya, di penghujung minggu biasanya ada perasaan menyesal. Seminggu merasa tak menulis dan membaca walau sebenarnya ada karya ‘seonggok’ dokumen kerja. Mungkin maunya yang kasual, bukan yang formal. Oke, malam ini udah aku coba dan ini hasilnya. 

Bicara ide dan gagasan sebenarnya banyak sekali isi kepala ini. Kadang jatuhnya jadi ngomong sendiri, kata logika (otak) versus kata hati (perasaan). Percakapan mereka gemas, sampai-sampai bikin aku sakit kepala haha. Kalau sudah begitu, biasanya lisan yang ambil kendali. Katarsis ke suami atau bestie. Yah, ujung-ujungnya nggak nulis lagi kan? *nyengir

Masih inget, minggu lalu, dengan polosnya bertanya ke seorang teman yang rajin upload konten di Instagram, “Kok kamu bisa ya, bikin reels, feed di Instagram? Masih sempat. Rutin lagi.” Dia tertawa sekonyong-konyong ini pertanyaan yang masuk ke keajaiban dunia. “Biasa aja kok. Disempetin aja,” katanya. Hmm. Clueless. 

Mungkin sampai malam ini, belum ketemu ‘why’ yang jadi motivasi. Tapi kalau ditanya, aku rindu juga untuk menulis. Eh, apa iya? Kalau rindu biasanya nggak butuh banyak alasan, kan? Kan.

Tertanda, Pejuang Senin, uh yeah!

Hari Minggu kemarin dan kemarinnya lagi jadi movie time pertama saya di bulan Juni. Setelah sebelumnya menonton Dr. Strange (‘Are u happy?’ ini satu-satunya yang saya ingat dari film berdurasi dua jam haha), kali ini, saya menonton film Indonesia berjudul, ‘Ngeri-Ngeri Sedap.’ 

Jujur, saat Si Mas tetiba mengajukan film ini, saya melongo sesaat. Apaan nih?? Bukannya apa-apa ya, coba deh sebut film-film Indonesia yang judulnya se-’weird’ jalan ceritanya. Eh, saya mengapresiasi karya-karya anak negeri kok, sineas kita terampil dan kreatif. Ada beberapa film Indonesia yang saya beri dua jempol tapi untuk lainnya … yaa, begitu kan? Kalian juga tahu sendiri kan? Hee …

Saya masih ingat betul, diberinya saya ringkasan film di handphone. Mata saya memincing membaca teks kecil-kecil. Apa yang kamu harapkan dari dua sampai tiga kalimat ringkasan film di aplikasi bioskop? Tahu saya ragu, di-klik-nya video trailer. Tak sampai 1 menit, saya langsung bilang, “Hayuk!”

Jadi apa yang membuat saya mengiyakan film ini dalam hitungan jari??

Baru Sebentar Sudah Lucu

Di awal film, saya (dan para penonton lainnya) sudah tertawa-tawa saja bawaannya. Kami dibuat cair di menit-menit pertama. Bukan, bukan karena lawakan atau adegan lucu. Gerak-gerik Tika Panggabean sebagai istri seorang Batak berhasil menghibur kami semua tanpa harus di-setting untuk melucu. Mimik dan gesture-nya itu lho! Saat berdialog dengan si suami saja sudah lucu. Ah jadi pengen nyanyi, “Dangdut is music of my country, my country, oh my country.” Lah.

Pun lucu, jangan khawatir, kamu akan selalu ingat bahwa ini film tentang keluarga. Gimana nggak inget yaa, ceritanya mbulet di situ-situ saja tentang relasi orang tua – anak, suami – istri, keluarga kecil – keluarga besar. Layaknya film pada umumnya, sutradara tidak akan membiarkan ceritanya lucu dan lurus begitu saja. Akan ada momen naik turun konflik dan penyelesaian, bahkan pemanasan dan pendinginan (eh, gimana, emang olahraga?). 

Kisah Klasik Keluarga Indonesia

Diceritakan, seorang keluarga Batak beranak empat sukses menjadi ‘role-model’ di kampungnya. Satu anak tetap tinggal ‘merawat’ orang tua di kampung, sementara ketiga lainnya melanglang buana ke pulau Jawa. Dari segi pendidikan, semuanya tuntas sarjana. Saya masih ingat ada satu adegan yang nyes banget, di mana ditunjukkan foto-foto wisuda setiap anak dengan pose berdiri dan tersenyum bahagia tergantung di dinding rumah yang biasa saja. 

Walaupun penuh dengan puja dan puji tetangga, ternyata, Si Bapak mempunyai standar dan ekspektasi karir sendiri untuk anak-anaknya. Apa yang sudah dicapai anaknya saat ini ternyata belum sesuai dengan keinginan Si Bapak. Jadilah, sesukses apapun anaknya, di mata Si Bapak belum ada apa-apanya. Pernyataannya klasik tapi SST alias Sungguh-Sungguh Terjadi di sekitar kita, “Bapak sudah menyekolahkanmu jauh-jauh, tinggi-tinggi, mahal-mahal, kamu akhirnya memilih menjadi …, kamu enggak menghargai usaha Bapak menyekolahkanmu ya?” Angkat tangan yang punya nasib mirip? Hihihi.

Film keluarga bernuansa Batak ini sepintas nampak sederhana. Cek saja pemainnya, lokasinya, latar budayanya, pun jalan ceritanya. Walaupun demikian, kesederhanaan film ini justru yang membuatnya menjadi kaya. Film ini mencoba menangkap realita. Bayangkan, isu anak yang hidup jauh dari keluarga justru lebih ‘hidup’ di tanah perantauan, isu anak yang lebih ‘enjoy’ bekerja sebagai artis daripada bekerja sesuai jurusan dan ekspektasi orang tua, isu pernikahan beda suku, isu anak perantauan yang diharapkan pulang untuk meneruskan usaha orang tua, isu anak yang membuang mimpinya demi menurut orang tua, isu orang tua enggak bangga dengan pekerjaan anaknya, isu seorang istri yang harus patuh dan diam di keluarga, dan sebagainya. Isu-isu tersebut tentu udah nggak asing. Hebatnya, semua menjadi begitu apik tersaji di layar tanpa  ada maksud untuk menyindir secara frontal. Yhaa, mungkin karena dibawa lucu itu tadi ya? Melihat yang di layar dan kita menertawai setiap adegan seolah kita menyetujui dengan cara yang lebih damai, “Ini lho yang sesungguhnya terjadi di luar sana.” 

Dari segi pemain juga bukan yang bertabur bintang tapi jalan ceritanya bisa hidup. Mungkin karena dipilih orang-orang yang berlatar belakang Batak. Jadi, tak ditemukan kekakuan saat memerankannya. Saya takjub dan angkat topi untuk beberapa pemain. Biasanya melihat di TV sebagai comica yang usil, sekarang bisa berakting di sebuah film layar lebar.

Nilai Kebaikan yang Universal

Oh ya, walau ini film Batak (dari awal sampai akhir seolah kamu sedang mengikuti orientasi budaya Batak), saya yang Jawa ini tetap menikmati filmnya. Ada satu ‘quote’ Bahasa Jawa yang muncul di tengah-tengah film, “Urip kuwi urup”. Saya rasa ini jadi titik pembuktian bahwa apapun suku dan latar belakangmu, semuanya mengajarkan kebaikan yang universal. Petuah dan kebijaksanaan dalam hidup tak hanya didapat dari orang tua yang formal slash kandung, orang lain pun bisa mengajarkan. Terlebih saat orang tua sendiri hanya mempunyai ‘daftar tuntutan’ untuk memenuhi ekspektasi dan adat budaya. Lupalah untuk ingat beban belajar nggak melulu ada di anak, orang tua juga selayaknya belajar.

Again, ini bukan tipikal film Indonesia yang menjual kemewahan, roman percintaan tragis, bahkan yang mengandalkan berbagai efek dramatis. Walaupun begitu, banyak pemaknaan yang berceceran di sepanjang film. Saya sebenarnya ingin mengaitkan dengan berbagai hal tapi jangan sampai tulisan ini jadi kayak skripsi 40 halaman. Eh, Film ini juga membuat kejutan lho! Ternyata dibalik tawa ngakak penonton, ada yang harus dibayar kontan. Ada yang dibuat tersedu di pojokan. Eh, ko jadi spoiler?

*

Ngeri-Ngeri Sedap

IMDB score: 8,5/10 per-tulisan ini diunggah di blog

Bagian yang paling suka:

  • Hubungan suami istri yang lawak sekali
  • Jokes Bapak-Bapak Batak di Lapo yang membuka wawasan haha
  • Jalan ceritanya ‘crunchy’, mudah diikuti, enggak njelimet tapi tetap sarat makna

Ceritanya saya menikah. Sebuah babak baru dalam hidup dan milestone berakhirnya hegemoni pertanyaan ‘kapan nikah?’ dari close circle sampai stranger. Menulis kalimat ini saja saya ngakak. Tapi apakah menikah itu hanya dalam rangka menjawab pertanyaan?

Masih teringat, H-sekian bulan, mama tetiba bertanya, “Dek, adek yakin dengan pilihan adek kan? Adek bukan karena terpaksa kan?” Pertanyaan serius bagi mama yang membuat saya melongo. Jujur, kami memang tak sedekat itu selama ini. Tak semua cerita saya curahkan. Lha wong cerita kehidupan biasa saja mereka sebegitu khawatirnya, apalagi cerita jungkir balik, ke barat ke timur anak wedhoknya ini. Jadi, ketika membuat keputusan untuk hidup dan bermitra secara setara dalam hubungan rumah tangga dengan seorang anak laki-laki yang lahir dan besar dari keluarga lain, mama masih bertanya-tanya. 

Kecelakaan sepeda motor berhasil tidak diketahui selama 2 minggu, terbongkar saat saya cuci baju. Sakit tipes saat pelatihan Pengajar Muda tidak diketahui sampai saya ngaku 1 tahun kemudian. Naik gunung Lawu diketahui secara tidak sengaja setelah teman saya mengunggah foto kami di Facebook (note: Iya, mama punya Facebook, Twitter, dan sekarang sudah lincah COD Shopee). Habis saya kala itu diomeli. 

“Mama, papa tuh suka kepikiran pas makan di Jogja, duh, adek makan apa ya? Di Jakarta yang kondisinya kayak gitu sendirian.” Padahal, nyatanya, saya pergi nonton bioskop, makan, putar-putar Jakarta naik TransJakarta, berteman haha-hihi. Pokoknya, saya tunjukkan saya baik-baik saja di sini (sudah seperti rumus menjawab esai beasiswa, ‘show’, ‘don’t tell’ hahaha). Apakah orang tua memang diciptakan untuk khawatir ya? atau jangan-jangan, anaklah yang diciptakan untuk tidak membuat orang tuanya khawatir?

Sampai-sampai, kalimat ini terucap, “Papa mama udah nggak khawatir sampai adek punya suami yang jagain adek. Papa udah nggak kepikiran lagi kalau adek pas jauh.” Iyes, track record saya di mata orang tua adalah ke sana ke mari menjelajah bumi!

Dulu, pas saya jomblo, pernyataan yang sesungguhnya tidak perlu dijawab itu sulitnya bukan main. Saya selalu mencoba untuk membela diri tapi sudahlah. Saya dengarkan saja resahnya orang tua. Toh, yang saya yakini, tidak menunjukkan pacar/gandengan bukan berarti tidak memikirkan pernikahan bukan? Agaknya pernikahan memang dipandang sebegitunya bagi sebagian orang. 

Dan, tad-da, saya menikah bulan Februari kemarin. Tak dipungkiri, mama papa senangnya bukan main. Keluarga si dia juga bersuka cita. Walau pernikahan saat pandemi melelahkan, semua keriwehan itu mereka syukuri. Anak perempuan dan anak laki-laki yang selalu dibanjiri pertanyaan kapan nikah (termasuk oleh orang tuanya sendiri) akhirnya menikah. 

Saya pun happy. Alhamdulillah, dipertemukan oleh yang maha menciptakan rasa dan segala. Sehingga, menjodohkan dua manusia menjadi begitu mudahnya oleh-Nya.

Kini, tak ada lagi kekhawatiran dari papa dan mama. Lega betul sepertinya mereka. Sekarang pertanyaannya berganti. Masak apa, dek, di rumah? Adek mudik nggak? Paket dari papa kemarin udah sampai? Depok gimana kabarnya?

Kalau sudah begitu, saya hanya ingin tertawa dengan semua yang terjadi. Dinamika menikah di usia kepala tiga dan kenyang pertanyaan kapan nikah belum usai rupanya. Saya tak menyesali setiap lembar kehidupan saya kemarin. Pilihan-pilihan yang saya ambil, juga semua keputusan yang dibuat. Saya sudah belajar menjawab pertanyaan. Walau begitu, itu tak berarti selesai. Saya akan bersiap dengan pertanyaan-pertanyaan lanjutan. Makin ke sini, makin terbukti, menjawab pertanyaan adalah bagian dari kehidupan, bukan begitu?

****
Barakallahu laka wa baarakaa aaika wa jamaa bainakumaa fii khoir (mudah-mudahan Allah memberkahi engkau dalam segala hal dan mempersatukan kalian berdua dalam kebaikan).

Orang-orang ibu kota itu berani-berani. Hampir delapan tahun tinggal di sini, banyak polah yang bikin saya geleng-geleng kepala lanjut berdecak kagum, “Kok bisa ya?” Tapi nyatanya memang begitu. Di kota ini, seolah semua serba bisa. Maklum saja ya, dari data kependudukan tahun 2020, Jakarta dihuni 10,56 juta manusia yang berasal dari berbagai daerah, enggak melulu orang asli Jakarta sendiri. Jadi, kebayang kan, betapa banyak ‘keajaiban’ yang terjadi?

Dulu, orang bilang, ada yang lebih kejam dari ibu tiri. Enggak perlu mikir lama, satir ini berujung pada jawaban ‘ibu kota’! Yup. Konon, ‘ibu kota’ dipercaya lebih kejam dari ‘ibu tiri’. Selain itu, ada juga yang pernah bilang begini, kalau enggak ikut gila, enggak bisa survive di Jakarta. Saya cengar-cengir saja sih. Dibanding mereka, mungkin saya tidak ada apa-apanya. Persepsi orang tentang Jakarta memang sebegitunya.

Beberapa teman selalu heran mengapa saya bisa betah di Jakarta. Kata mereka, kalau sekadar liburan, jalan-jalan, ya asyik. Mall di Jakarta besar-besar, beda dengan kota-kota lainnya. Walaupun begitu, lain perkara untuk urusan tinggal. Big no, katanya. Saya memang tak pernah menjelaskan apalagi promosi kepada mereka. Bagi saya, pilihan tempat tinggal itu sangat personal. Terhitung sampai sekarang, sudah empat kali saya pindah domisili di Jakarta, di kawasan yang berbeda. Jujur, saya tak ambisius untuk membuat bucket list wilayah di Jakarta yang harus saya tinggali. Ini hanya sebuah seni di mana saya menjalani ke mana saja arah hidup membawa saya.

Warung makan, warteg, warung tenda, dan sejenisnya adalah tempat yang paling sering saya kunjungi nomor dua di Jakarta setelah kantor. Di sanalah, kesempatan saya bertemu dengan manusia-manusia Jakarta yang berwarna-warni. Sesekali tak hanya membeli, juga terlibat obrolan ringan. Tenang, tidak kenal pun mereka ramah kok.

Beberapa pedagang dan tukang ojek suka ‘bocor’ bercerita walau tak ditanya. Gara-gara itu, saya jadi sering mendengar rekam jejak mereka selama ini. Lucunya, mereka bisa saling bersaksi perjalanan kehidupan. Misal, tidak terbayang dulu hanya pedagang asongan di perempatan, kemudian beranak pinak dan punya menantu lalu tumbuh cucu-cucu. Sekarang, sudah punya warung nasi. Walau kecil, warungnya jadi pemadam kelaparan orang-orang. Keberadaan warungnya disyukuri. Murah dan fresh! (percayalah, karena benar-benar digoreng di depan mata). Ada juga yang dulu hanya pedagang nasi dan lauk-pauk kecil-kecilan. Siapa sangka, kini sudah sanggup punya rumah di Jakarta. Walau begitu, warung makannya tetap dipertahankan di pinggir jalan. Sesekali membuat keki para pembeli karena ditinggal pulang kampung sebentar tanpa pemberitahuan.

Kalau sudah begitu, saya yang pekerja kantoran ini suka merinding sendiri. Gila sih perjuangannya. Saya selalu salut dengan kegigihan mereka. Seolah-olah, apapun dijalani di Jakarta ini. Saya pernah membaca koran yang mengangkat cerita tentang sepak terjang penjual gorengan di Jakarta. Penjual gorengan itu untungnya besar dengan modal yang hanya seberapa. Intinya kreatif, menurut koran itu yang berhasil mewawancarai pedagang gorengan. Saya hanya manggut-manggut membaca. Bagi saya, tetap saja tak masuk di kepala berapa keuntungan dengan harus mendorong gerobak beroda atau model dagangan yang dipikul di bahu. Belum lagi beban harus membawa tabung gas melon, minyak goreng, dan aneka rupa bahan. Plus rasa insecure harus memasak di tempat umum, lalu lalang orang. Hei, ini bukan Nanta Cooking Show bak di Myeongdong ya! Nyatanya, mereka enjoy saja. Bagi saya sendiri, penjual gorengan itu unik. Beberapa kali, mereka membuat saya gagal berhitung dalam pelajaran Matematika. Satu buah gorengan harganya Rp 1.000,00. Saat saya membeli Rp 4.000,00, saya diberi 5. Hmm… Penjualnya hanya tertawa. Wujud syukur dagangan hari ini, katanya.

Ada lagi pedagang buah yang membuat saya melongo. Kala itu, saya sudah panik karena langit tiba-tiba mendung dan menghitam. Saya buru-buru memilih buah dan mengeluarkan lembaran uang. Melihat gelagat buru-buru saya, Si Bapak hanya berujar santai, “Tenang, ini masih hujan air, Neng, belum hujan batu.” Saya hanya merespon dengan menatap balik si bapak, eh, gimana Pak? Bapak yang bermodal payung warna-warni hanya tersenyum-senyum. Sementara saya yang bernaung di bawah genteng dan bangunan kokoh justru segera mengambil langkah seribu. 

Saya tidak bisa berkata-kata lagi. Setiap bertemu dengan yang seperti itu, pikiran saya melayang-layang. Tak ada maksud menggurui tapi yang mereka ucapkan itu benar.  Saya selalu numpang refleksi diri. Bisa jadi, definisi berani bagi orang-orang itu adalah tidak berpikir macam-macam tentang kehidupan. Sudah jalani saja. Apa yang tidak diberikan hidup, jangan diminta. Kesialan, bahaya, dan ancaman jalanan adalah teman perjuangan.

*Ditulis untuk challenge pertama dari kelas menulis #ScratchYourStory

Feedback untuk tulisan ini:

Dua minggu lalu saya ke Gramedia. Gramedia pertama saya sejak korona Maret 2020. Saya kira, sore itu tokonya buka. Satpam di pos jaga depan sama sekali tidak memberi tanda, seolah semua baik-baik saja. Dibiarkan mobil kami masuk dan terus, terus, lurus sampai ke basement. 

Basement tak begitu ramai. Yah, lima mobil lebihlah. Pemandangan lainnya, di seberang mushola, ada beberapa orang yang berdiri mengerubungi lapak-lapak Gramedia. Saya masih positif thinking itu hanya lapak buku-buku obral seperti yang sudah-sudah. Jadilah saya tetap pede melenggang ke tangga dan naik menuju toko. 

Toko sudah saya kelilingi. Pintu kaca tertutup dan signage di mana-mana. Gramedia tutup, ya? Karena benar-benar sepi, saya pun turun kembali ke basement dan menghampiri orang dengan tanda pengenal Gramedia, “Mbak, kalau mau ke Gramedia gimana? Tutup ya, kok pintunya ditutup semua?” 

“Iya, Mbak, belum boleh masuk. Mbak mau beli apa, pesan di sini, nanti kami yang ke atas carikan.”

Saya melongo saja. Kok lucu? 

“Mas, ini tolong Mbaknya, mau cari barang!” 

Laki-laki muda yang sudah di-grooming dengan seragam Gramedia model smart casual menghampiri saya. Segera saya sebutkan merk pensil yang sedang saya cari, beserta request warna favorit: hijau! Saya tunjukkan juga gambarnya dari hasil googling

“Mas, yang seperti ini ya. Kalau misal nanti enggak ada, daripada mas bolak-balik, bawa sekalian aja merk lain tapi asal warnanya hijau ya,” kata saya penuh semangat.

Masnya nampak tidak masalah dengan permintaan saya. Dia oke-oke saja sambil berkomunikasi dengan temannya via Whatsapp (saya tebak, temannya stand by di toko di lantai atas). Dipersilakannya saya duduk di bangku yang sudah berhias tanda X, mungkin akan lama. Berapa sih kecepatan orang mencari barang dengan panduan gambar dan harus naik-turun tangga?

Saya enggan duduk dan lebih memilih untuk melihat buku-buku super tebal yang ditumpuk rapi tentang kompilasi soal CPNS, TPA, dan sebangsa setanah airnya. Jujur, saya kangen berada di antara rak-rak buku. Rasanya penuh nostalgia. Tidak benar-benar mencari buku, hanya berlagak mencari padahal cuma melihat-lihat mana buku yang pantas untuk dipegang-pegang, dibolak-balik, dikembalikan ke rak, dan beralih ke rak berikutnya. 

Pandemi era yang sekarang (duh, bagaimana enaknya menyebutnya), saya menyadari, jarang keluar rumah jadi kebiasaan (udah setahun lebih, cuy!). Di hari kerja, dalam sehari saja, bisa satu-dua kali untuk cari makan, cari udara, siang dan malam. Itupun tak sampai satu jam. Sabtu atau Minggu sesekali pergi yang agak jauh sedikit. Saat di luar, senang sekali bisa tengok kanan-kiri melihat pemandangan, melihat orang-orang. Apa ya yang berubah? Apa saya masih hafal jalan? 

Yang saya rasakan saat di luar, peradaban manusia masih sama. Saya lihat tukang mie ayam juga masih begitu cara memasaknya. Pasukan oranye masih menyapu jalanan. Penjual kaki lima, abang ojek online, penjaga toko, pengendara motor, mobil di jalanan, polusinya … sama. Sepertinya tak ada yang saya lewatkan saat saya hanya berada di dalam kamar. 

Malam ini, overthinking saya lagi kumat. Berandai-andai tapi tetap saya tak bisa membayangkan besok kalau pandemi sudah selesai dan kita merdeka dari korona. Rasa-rasanya … Hmm, mungkin rasa-rasanya sama ya, seperti saat tahun 2020, saat saya rajin mengikuti breaking news perkembangan korona. Orang-orang di dalam TV menggunakan face shield. Kala itu, saya anggap lucu karena ada berbagai model face shield yang justru mengingatkan saya pada Sandy Cheeks di serial Spongebob Squarepants. Tak berapa lama, ternyata, saya pun harus memakai face shield juga sebagai bentuk perlindungan diri. Dih, yang saya tertawai kini saya pakai sendiri!

Ini Sandy Cheeks, guys! (Source: IDN Times)

Atau, diskusi virtual para pakar yang kala itu levelnya masih ‘ngrasani’ program vaksinasi. ‘Ndakik-ndakik’ sekali terdengarnya. Saya hanya manggut-manggut mencoba memahami. Ternyata, siapa sangka, sekarang vaksinasi sudah ada di mana-mana.

Ternyata ya, ternyata. Semua akan ada masanya. Waktu hanya seperti rel kereta, tinggal dilewati saja karena tak ada jalur lain. Apa iya kereta jalan di aspal?

Di sebuah organisasi, ada yang sering menggunakan ‘Ooo, ternyata … (disambung dengan kalimat)‘ untuk sesi refleksi bersama. Ooo, ternyata disandingkan dengan kalimat temuan/fakta terhadap asumsi yang mereka pikirkan selama ini dan ternyata itu salah. Siapa sih dibalik itu semua? Tentu saja waktu yang mampu mengubah paradigma seseorang.

Saya jadi berpikir, Gramedia nggak berubah kok. Dia tetap Gramedia yang menjual buku dan alat tulis. Saat ini, waktu ini, Gramedia hanya sedang beradaptasi agar bisa bertahan di masa pandemi.

Lalu, kapan korona berakhir? Sudah dijalani aja, jangan coba dipertanyakan :p

Yang overthinking tidur. Salam.

Dalam sebuah episode pakai face shield ehehehe. Face shield gratisan. Beberapa bulan lalu, kalau naik kereta api, diberi face shield saat mau check in. Pas di dalam kereta, ada petugas yang mengingatkan untuk dipakai.

Ternyata nggak mudah untuk menulis. Walau secara body and soul saya sinergikan untuk menulis, tetap saja, hoahem :O, ya ngantuklah, ya pegellah, ya pusinglah. Intinya satu, rebahan lebih menarik hati. 

Btw, apa itu tadi? Tetiba kok ada kata ‘sinergikan’ di blog ini hehe. HeEh, walau dari pantauan blog, saya jarang menulis, paling tidak dalam seminggu (lewat media lain), saya bisa menulis satu karya tulis baku/formal dalam bentuk Kerangka Acuan Acara, surat-menyurat kedinasan, narasi singkat media sosial, dan artikel website. Jadilah, ketika saya mulai duduk manis menghadap layar dan berniat ngeblog setelah jam kerja berakhir, sudah mual-mual saja bawaannya. Kasur, kasur, kasur! Begitu badan ini meronta-ronta. 

Banyak hal yang terjadi sejak kepulangan saya ke Jogja akhir Desember lalu. Semua rasa ada dan kalau sudah begini, saya selalu ingin menulis untuk mengurai semua ini. Mungkin bukan curhat yang gimana-gimana, lebih ke menuliskan kembali semua yang terjadi dengan sebuah sudut pandang yang berbeda. Ya, seperti cerita-cerita saya lainnya di blog ini. Saya boleh mangkel, saya boleh keki, saya boleh sedih, saya boleh happy. Emosi bebas. 

Jujur, semakin saya sadari, saya bisa mumet tanpa sebab kalau semua hanya ada di kepala. Sekali waktu saya tulis di blog dan saya baca-baca lagi di kesempatan yang berbeda, ajaib! Mumetnya hilang. Atau kalau pun sudah mentok buka laptop, sekadar saya coret-coret di kertas untuk tahu ‘Ini sebenernya gimana ya?’.

Oke, semoga, pelan-pelan, saya bisa menulis (lagi).

Awal Juli lalu, saya sempat ikut webinar tentang ‘Finding Peace from Writing’. Sesi berdurasi satu jam itu mencoba untuk memaknai masa sulit melalui tulisan untuk lebih memahami diri dan apa yang terjadi. Catatan saya selama sesi sukses hilang (lah! saya cari dari tadi belum ketemu) tapi ada beberapa hal yang masih nancap di kepala karena ‘aku banget’ alias saya juga merasakan hal yang sama. 

>> Pertama, menulis sebuah peristiwa yang kita alami membantu kita memahami apa yang sudah terjadi dengan sudut pandang berbeda.

>> Kedua, tulisan membantu kita untuk menstrukturkan peristiwa atau pengalaman yang terjadi.

>> Ketiga, menulis peristiwa yang kita alami membuat kita berpikir sekaligus merasakan. Kita jadi punya kesempatan untuk merefleksikan kembali.

>> Keempat, tulisan tersebut pada dasarnya menjadi sangat personal karena isinya apa yang kita rasakan. Ada kalanya, boleh kita menulis di kertas lalu kita sobek dan buang (jika itu melegakan) atau kita ketik di komputer lalu kita simpan. Semuanya terserah kita. 

Saat sesi kemarin, rasanya campur aduk. Saya jadi ingat beberapa hal yang sudah saya alami kemarin dan masih membuat saya insecure (hilang-timbul). Saya jadi bertanya-tanya, apakah saya sudah bisa berdamai atau sebenarnya saya hanya ‘fly’ saja. Memang, sesi kemarin sangat syahdu. Benar-benar di luar dugaan saya. Semua yang ikut dalam mood yang sama. Sedih, cemas, kehilangan, duka, dan berusaha mencari jalan keluar di masa pandemi yang serba tidak pasti ini. 

Malam ini, rasa-rasanya tidak baik men-judge diri. Saya memang kehilangan catatan saya tapi saya malah menemukan catatan saya yang lain yang seirama. Bunyinya begini,

Jangan mengejar waktu berakhirnya sebuah rasa (kekecewaan, duka cita, ketidakpastian). Urusan rasa dan hati itu butuh proses. Temani rasa itu.

Baiklah. Mari kita tidur. Selamat malam, rasa.