Waktu dan Ternyata

Dua minggu lalu saya ke Gramedia. Gramedia pertama saya sejak korona Maret 2020. Saya kira, sore itu tokonya buka. Satpam di pos jaga depan sama sekali tidak memberi tanda, seolah semua baik-baik saja. Dibiarkan mobil kami masuk dan terus, terus, lurus sampai ke basement. 

Basement tak begitu ramai. Yah, lima mobil lebihlah. Pemandangan lainnya, di seberang mushola, ada beberapa orang yang berdiri mengerubungi lapak-lapak Gramedia. Saya masih positif thinking itu hanya lapak buku-buku obral seperti yang sudah-sudah. Jadilah saya tetap pede melenggang ke tangga dan naik menuju toko. 

Toko sudah saya kelilingi. Pintu kaca tertutup dan signage di mana-mana. Gramedia tutup, ya? Karena benar-benar sepi, saya pun turun kembali ke basement dan menghampiri orang dengan tanda pengenal Gramedia, “Mbak, kalau mau ke Gramedia gimana? Tutup ya, kok pintunya ditutup semua?” 

“Iya, Mbak, belum boleh masuk. Mbak mau beli apa, pesan di sini, nanti kami yang ke atas carikan.”

Saya melongo saja. Kok lucu? 

“Mas, ini tolong Mbaknya, mau cari barang!” 

Laki-laki muda yang sudah di-grooming dengan seragam Gramedia model smart casual menghampiri saya. Segera saya sebutkan merk pensil yang sedang saya cari, beserta request warna favorit: hijau! Saya tunjukkan juga gambarnya dari hasil googling

“Mas, yang seperti ini ya. Kalau misal nanti enggak ada, daripada mas bolak-balik, bawa sekalian aja merk lain tapi asal warnanya hijau ya,” kata saya penuh semangat.

Masnya nampak tidak masalah dengan permintaan saya. Dia oke-oke saja sambil berkomunikasi dengan temannya via Whatsapp (saya tebak, temannya stand by di toko di lantai atas). Dipersilakannya saya duduk di bangku yang sudah berhias tanda X, mungkin akan lama. Berapa sih kecepatan orang mencari barang dengan panduan gambar dan harus naik-turun tangga?

Saya enggan duduk dan lebih memilih untuk melihat buku-buku super tebal yang ditumpuk rapi tentang kompilasi soal CPNS, TPA, dan sebangsa setanah airnya. Jujur, saya kangen berada di antara rak-rak buku. Rasanya penuh nostalgia. Tidak benar-benar mencari buku, hanya berlagak mencari padahal cuma melihat-lihat mana buku yang pantas untuk dipegang-pegang, dibolak-balik, dikembalikan ke rak, dan beralih ke rak berikutnya. 

Pandemi era yang sekarang (duh, bagaimana enaknya menyebutnya), saya menyadari, jarang keluar rumah jadi kebiasaan (udah setahun lebih, cuy!). Di hari kerja, dalam sehari saja, bisa satu-dua kali untuk cari makan, cari udara, siang dan malam. Itupun tak sampai satu jam. Sabtu atau Minggu sesekali pergi yang agak jauh sedikit. Saat di luar, senang sekali bisa tengok kanan-kiri melihat pemandangan, melihat orang-orang. Apa ya yang berubah? Apa saya masih hafal jalan? 

Yang saya rasakan saat di luar, peradaban manusia masih sama. Saya lihat tukang mie ayam juga masih begitu cara memasaknya. Pasukan oranye masih menyapu jalanan. Penjual kaki lima, abang ojek online, penjaga toko, pengendara motor, mobil di jalanan, polusinya … sama. Sepertinya tak ada yang saya lewatkan saat saya hanya berada di dalam kamar. 

Malam ini, overthinking saya lagi kumat. Berandai-andai tapi tetap saya tak bisa membayangkan besok kalau pandemi sudah selesai dan kita merdeka dari korona. Rasa-rasanya … Hmm, mungkin rasa-rasanya sama ya, seperti saat tahun 2020, saat saya rajin mengikuti breaking news perkembangan korona. Orang-orang di dalam TV menggunakan face shield. Kala itu, saya anggap lucu karena ada berbagai model face shield yang justru mengingatkan saya pada Sandy Cheeks di serial Spongebob Squarepants. Tak berapa lama, ternyata, saya pun harus memakai face shield juga sebagai bentuk perlindungan diri. Dih, yang saya tertawai kini saya pakai sendiri!

Ini Sandy Cheeks, guys! (Source: IDN Times)

Atau, diskusi virtual para pakar yang kala itu levelnya masih ‘ngrasani’ program vaksinasi. ‘Ndakik-ndakik’ sekali terdengarnya. Saya hanya manggut-manggut mencoba memahami. Ternyata, siapa sangka, sekarang vaksinasi sudah ada di mana-mana.

Ternyata ya, ternyata. Semua akan ada masanya. Waktu hanya seperti rel kereta, tinggal dilewati saja karena tak ada jalur lain. Apa iya kereta jalan di aspal?

Di sebuah organisasi, ada yang sering menggunakan ‘Ooo, ternyata … (disambung dengan kalimat)‘ untuk sesi refleksi bersama. Ooo, ternyata disandingkan dengan kalimat temuan/fakta terhadap asumsi yang mereka pikirkan selama ini dan ternyata itu salah. Siapa sih dibalik itu semua? Tentu saja waktu yang mampu mengubah paradigma seseorang.

Saya jadi berpikir, Gramedia nggak berubah kok. Dia tetap Gramedia yang menjual buku dan alat tulis. Saat ini, waktu ini, Gramedia hanya sedang beradaptasi agar bisa bertahan di masa pandemi.

Lalu, kapan korona berakhir? Sudah dijalani aja, jangan coba dipertanyakan :p

Yang overthinking tidur. Salam.

Dalam sebuah episode pakai face shield ehehehe. Face shield gratisan. Beberapa bulan lalu, kalau naik kereta api, diberi face shield saat mau check in. Pas di dalam kereta, ada petugas yang mengingatkan untuk dipakai.
2 comments
    • Hety said:

      Terima kasih, ya

      Like

Leave a comment