Pengalaman Pertama Naik Gunung Lawu (1)

Saya punya kebiasaan aneh. Kalau mau pergi jauh (bukan Jakarta – Bekasi, ya), saya sulit tidur atau gelisah sepanjang waktu. Untuk menenangkan, orangtua saya selalu menyarankan untuk melakukan persiapan jauh-jauh hari dan pengecekan barang yang dibawa jelang keberangkatan. Klasik, sih. Walau ada benarnya juga, tetap saja, sampai saya dewasa pun masih sering kambuh.

Terakhir, saya tidak tidur sama sekali saat akan berangkat ke Kapuas Hulu dan Natuna. Keduanya penerbangan dini hari, jelang subuh. Apa sih yang sebenarnya yang saya khawatirkan? Entah!

Ini terjadi lagi saat saya akan berangkat ke Madiun – pendakian perdana ke Gunung Lawu. Dari Stasiun Pasar Senen, kereta api saya akan berangkat pukul 15.15 WIB. Artinya, saya harus izin pulang kantor lebih cepat dan langsung menuju Stasiun Pasar Senen. Pun, malamnya, saya tidak bisa tidur. Saya tidur larut dan berulang kali mengecek isi carier. Grogi sepertinya.

Tadda, hasil packing semalam pakai grogi: carier asimetris.

Tadda, hasil packing semalam pakai grogi: carier asimetris.

Dengan outfit sporty dan membawa carier yang tingginya melebihi tinggi badan beberapa centi, saya sampai di Stasiun Pasar Senen. Bukan pemandangan aneh, saya enggak sendiri. Saya berjumpa juga dengan rombongan mas-mas dan mbak-mbak berpakaian sporty dan membawa carier berwarna-warni menjulang tinggi. Hari Jumat, weekend, musim pendakian, begitu gambarannya.

Saya yang berangkat sendiri, tanpa rombongan (karena belum berjumpa dengan Ridwan dan Noel) sempat ditanya petugas pengecekan tiket, “Enggak bawa gas, kan?”

Note: Pengetahuan pertama, membawa gas dalam kereta api tidak boleh. Sama seperti membawa jerigen minyak dalam kapal.

Oke, ternyata penampilan saya kali ini sudah cukup sporty dan adventure enough saat dilihat. Terbukti sukses sampai membuat si petugas bertanya. Maklum pendakian perdana. Malu kalau saya sampai salah kostum.

Note: Step pertama, enggak salah kostum, centang. Haha

Di dalam kereta, beberapa menit setelah kereta meninggalkan Stasiun Pasar Senen, saya kaget saat ada yang menepuk pundak saya. Saat menoleh, “Noel! Ridwan! Dan …, oh! Ketinggalan! Huwaa … .” Saya heboh.

Drama pertama dimulai! Kehebohan saya bukan karena akhirnya bertemu Ridwan dan Noel di kereta, tapi saya baru ingat matras saya ketinggalan di kosan begitu melihat carier Ridwan yang menggembung karena matras. Jeng-jeng!

Matrasku ketinggalan!” kata saya dengan wajah memelas.

Udah, Het. Tenang, tenang. Enggak apa-apa. Kabarin aja di grup. Siapa tahu masih bisa disewain di Madiun,” Ridwan dan Noel berusaha menenangkan.

Malu! Failed. Fix, pendakian perdana tapi matras ketinggalan akan tercatat dalam buku sejarah. Masih jelas di ingatan saya, si gulungan matras berdiri di pojokan kamar. Si matras tidak terbawa karena saya sibuk dengan tas ‘printilan’ dan buru-buru karena abang Gojek sudah menanti. Duh!

Note: Jangan lupa bawa matras!!

Singkat cerita, pukul 02.16 WIB, dini hari, kami bertiga sampai di Madiun. Kami dijemput Luluk dan Mbak Rully menuju rumah Luluk yang jaraknya tidak jauh dari Stasiun Madiun.

Pukul 08.00 WIB, kami bersembilan sudah rapi, wangi, dan kenyang sarapan, siap berangkat menuju Cemoro Sewu. Perjalanan kurang lebih dua jam dari Madiun. Sepanjang perjalanan, saya memilih tidur (membayar utang tidur sebelumnya). Saya hanya ingat di Madiun, mobil yang kami naiki berhenti di pom bensin lalu melewati perusaan kereta api, pabrik gula, jalan yang mirip ring road di Jogja, dan Zzz … . Het, het, sengantuk itukah kamu, Nduk?

Pukul 10.00 lebih, akhirnya, kami sampai di Cemoro Sewu. Hawanya sejuk mirip di puncak atau di Kaliurang. Setelah menurunkan carier, salah satu dari kami melapor di pos dan mengisi formulir yang diberikan. Saat formulir diserahkan ke petugas, kami harus menyerahkan satu KTP/SIM/tanda pengenal lain yang akan dikembalikan saat kami turun gunung.

Sebelum naik, kami sempat membeli nasi bungkus di warung untuk makan siang di atas. Tanggung karena dalam dua jam ke depan sudah masuk jam makan siang. Enggak sulit kok mencari warung nasi karena di sekitar gapura masuk Cemoro Sewu banyak warung nasi. Tinggal pilih saja. Satu nasi bungkus dengan dua macam sayur dan telur dihargai Rp 10.000,00.

So, here we come. The journey begins

Kalau kamu mendaki Gunung Lawu dari Cemoro Sewu, kamu akan melewati lima pos untuk sampai di puncak yang bernama Hargo Dumilah (3.265 mdpl). Kata teman-teman, rute Cemoro Sewu lebih landai karena terdiri dari batu-batu yang yang membentuk jalannya sendiri, mirip jalan setapak. Sehingga, rutenya relatif mudah jika dibandingkan dengan Cemoro Kandang. Seakan sedang menaiki tangga batu.

Full team! (dokumentasi: Mel @ratucumi)

Full team! (dokumentasi: Mel @ratucumi)

Pukul 10.00 WIB lebih kemarin seperti waktu yang tepat untuk naik. Matahari belum begitu terik. Sehingga, hawanya sejuk. Cenderung agak dingin, malah. Saya dan Ajeng terlena untuk memakai jaket sampai seorang teman mengingatkan kalau dalam beberapa menit ke depan, kami berdua pasti keringatan karena berjalan hehe. Jadi, sebaiknya, tidak perlu memakai jaket. Toh, kapan lagi menikmati hawa yang jarang kita rasakan di Jakarta seperti ini?

Sekali lagi, kamu tidak perlu khawatir kalau naik Gunung Lawu itu seperti kamu berada di tengah hutan dan harus ‘babat alas’. Sudah ada jalan setapak yang tinggal kita lalui aja. Sejauh mata memandang memang pepohonan yang menjulang tinggi, serta sisa-sisa pohon rubuh dan sisa-sisa kebakaran hutan yang melanda Gunung Lawu beberapa waktu yang lalu. Sedih memang. Tak jarang, di setiap jalan yang dilalui, pasti ada papan peringatan untuk tidak membuat api unggun di sembarang tempat.

Langit biru, awan putih, terbentang indah, lukisan kuasa. Selalu pengen nyanyi lagunya Sherina.

Langit biru, awan putih, terbentang indah, lukisan kuasa. Selalu pengen nyanyi lagunya Sherina.

Satu hal favorit saat berada di alam, yang tidak akan saya lewatkan, adalah mendongak ke atas. Saya senang sekali masih bisa melihat putihnya awan dan birunya langit. Belum lagi, beberapa pohon yang menjulang tinggi ke atas. Sungguh pemandangan yang indah, bagai vitamin A untuk kedua mata saya.

Tuk, wak, tuk, wak.

Tuk, wak, tuk, wak.

Hmm … udah capek belum jalan kakinya? Sebagai orang yang baru pertama kali mendaki, saya senang sekali dipertemukan dengan orang-orang ini. Mereka tidak ambisius untuk jalan cepat-cepat dan saling meninggalkan. Justru nasehatnya, jalan kaki pelan, pasti, asal tidak banyak berhenti. Sesekali, kami berfoto bersama saat melewati spot yang menarik. Dari gaya boy band sampai gaya sok akrab, semua dicoba (saya sampai bingung, foto mana yang mau di-upload di blog)

Hosh, hosh!

Hosh, hosh!

Doo be doo be doo … Cuacanya cerah sampai kami melewati pos 2. Masih cerah sih, tapi sesekali tetesan air jatuh. Ini embun, bukan hujan, katanya. Maklum, jalan sudah mulai naik turun, berkelok, dan semakin berbatu. Galau antara pakai jas hujan atau tidak. Lepas, pakai, lepas, pakai begitu seterusnya sampai bress … hujan menderas.

Kami bersembilan mulai terpisah. Bukan kesasar sih karena jalannya hanya satu. Hanya saja, jarak antara kami berjauhan. Di awal, kami memang sudah menerapkan sistem ‘buddy‘. Satu laki-laki akan mendampingi satu atau dua perempuan untuk berjalan.

Hujan. Berjas hujan plastik. Jalan kaki menggendong carier. Sepatu basah. Apalagi? Saya sudah menyiapkan mental untuk keadaan ini, sebenarnya. Pasti terjadi. Sebelumnya, saya sudah bertanya pada teman saya, the worst thing that happened to her in Lawu. Dia bercerita saat naik Gunung Lawu, dia kehujanan, jalan menanjak, dan malam hari. Oke, berarti paling tidak saya bersyukur ini masih sore walau menggelap karena hujan deras.

Saya kedinginan sehingga memperlambat laju langkah kaki saya. Puput yang berada di belakang, setia menemani. Sepatu basah, berkaos – tanpa jaket, dan langsung memakai jas hujan plastik sepuluh ribuan berwarna hijau. Hawa dingin dengan cepat menjalar dan membekukan tubuh saya. “Het, tetep bergerak ya, jangan diam,” kata Puput.

Saya kelu. Hangat di pikiran, teringat di dalam carier ada jaket. Pun saya pakai sekarang, justru akan basah, dingin, dan beban lagi untuk tubuh saya. Kalau sampai basah, nanti tidak ada jaket lagi. Sarung tangan? Jemari saya beku. Pun saya pakai sekarang, justru akan basah dan dingin. Tak ada pilihan, kecuali tetap berjalan, berdoa dalam hati, berpikiran positif di tengah hujan atau ini sudah badai sepertinya, karena angin sudah ikut ‘tampil’ dalam kegelapan hutan dan derasnya hujan.

Akhirnya, kami sampai di pos … entah. Bentuknya bangunan utuh dengan tembok setengah di tiap sisinya. Dan, Wow! Semua pendaki berteduh di sana. Carier ditumpuk di depan. Kami masuk dan saling merapat dengan pendaki lain, berharap tempat masih muat. Ada yang duduk, ada yang berdiri. Semuanya seperti dalam formasi saling menghangatkan tanpa janjian. Kami berbagi makanan yang ada. Bau semerbak minyak gosok beradu dengan bau hujan. Semua pasrah. Gusti, semoga hujannya lekas berhenti!

Bersambung ke …
Bagian 4 cerita ini: Pengalaman Pertama Naik Gunung Lawu (2)

Baca cerita sebelumnya:
Bagian 1 cerita ini: Kenalan PM Menggunung
Bagian 2 cerita ini: Pendaki Pemula Berbagi Cerita

3 comments

Leave a comment