Halo Berastagi

Begitu mendengar ‘Berastagi’ (atau sering dilafalkan, ‘Brastagi’), yang langsung terlintas di kepala adalah monopoli edisi nasional yang memuat kota atau daerah tujuan wisata terkenal di Indonesia. Sebut saja kompleks Medan, yang terdiri dari Danau Toba, Berastagi, Prapat, dan lain-lain. Hihi, diam-diam, karir saya melesat, dari anak bawang yang diminta jadi bank sampai pengusaha hotel dan rumah di permainan monopoli.

Back to topic, ya, tentang Berastagi. Tutup dulu mainan monopolinya.

Sebagai orang yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Medan, rasanya langsung ingin kalap mengunjungi semua destinasi wisata di Medan. Sebut saja, Danau Toba, Pulau Samosir, Berastagi, Prapat, Istana Maimun, Masjid Raya Medan, Sibayak-Gunung Sinabung, dan masih banyak lagi. Pokoknya, semua yang ada di search engine Google mengarah ke situ.

Nah, berhubung singkatnya waktu singgah ke Medan kali ini, kakak ipar saya (ciee, sekarang punya) memilihkan kami sekeluarga untuk berkunjung ke Berastagi. Mengapa Berastagi? Alasannya sederhana. Jika dibandingkan dengan destinasi lainnya, sepertinya ini yang paling mudah dikunjungi dalam setengah hari karena jaraknya yang tidak begitu jauh (plus, anggota perjalanan kali ini adalah papa, mama, pakde, dan budhe yang tidak henti-hentinya mengatakan,”Ayo istirahat di hotel aja, nggak usah jauh-jauh” -__-“).

Berastagi adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Karo yang terletak di dataran tinggi Karo. Hal itu membuat hawa di Berastagi cukup dingin. Ya, kalau di Jogja, mirip Kaliurang atau kalau di Bogor, mirip Puncak. Dengan jalan aspal menanjak dan berkelok, kita diajak untuk menikmati pemandangan perbukitan yang ditumbuhi berbagai pepohonan.

Oh ya, di Berastagi terdapat beberapa objek wisata. Ada beberapa tempat yang menawarkan pemandian air panas di kanan kiri jalan. Selain itu, ada juga rumah makan yang menawarkan menu jagung bakar, indomie, dan minuman hangat aneka rupa. Pokoknya, khas dataran tinggi.

Tidak sampai dua jam perjalanan dari Tanjung Morawa, saya sudah tiba di Berastagi. Berastagi yang saya kunjungi kali ini tepat di pasarnya. Bisa jadi karena hari Minggu, ramainya bukan main. Kombinasi tempat wisata dan pasar malam, terbayang kan?

Di area pasar yang ramai kita harus ikhlas berbagi jalan sama kuda.

Di area pasar yang ramai kita harus ikhlas berbagi jalan sama kuda.

Walaupun hanya pasar, tetap saja ada yang istimewa. Selain baju-baju khas yang bisa dibeli untuk oleh-oleh, ada juga buah-buahan dan sayur mayur hasil panen daerah setempat. Wuiw! Segarnya bukan main. Saya suka melihat warna-warni buah-buahan yang merefresh mata saya.

Yuk, absen! Jeruk, salak, buah naga, markisa, dan strawberry.

Yuk, absen! Jeruk, salak, buah naga, markisa, dan strawberry.

Ada Medan, ada markisa.

Ada Medan, ada markisa.

Oleh-oleh. Lucuk buat dibeli, lucuk buat dipajang.

Oleh-oleh. Lucuk buat dibeli, lucuk buat dipajang.

Lalu, apa yang dibeli di pasar ini? Hmm, tidak ada yang khas kecuali kaos-kaos bertuliskan, ‘Brastagi’ atau patung-patung pahatan dari kayu berbentuk rumah adat ataupun orang yang berpakaian khas daerah Medan. Sisanya, kain-kain atau aksesoris bercorak batik kontemporer yang, menurut saya, bisa kita dapatkan di destinasi wisata pada umumnya. Yang penting, jangan lupa borong buah-buahannya, ya, lumayan untuk bekal perjalanan.

Pengunjung enggak melewatkan untuk berburu buah.

Pengunjung enggak melewatkan untuk berburu buah.

Nyobain, enggak beli, enggak dosa hehe.

Nyobain, enggak beli, enggak dosa hehe.

Sedih adalah selalu ada sampah. Monyet pun ikut mengais sampah.

Sedih adalah selalu ada sampah. Monyet pun ikut mengais sampah.

#NulisRandom2015

Leave a comment