Archive

Tag Archives: jalan-jalan

Cerita jalan-jalan ke Jogja memang tidak ada habisnya. Selalu ada saja yang bisa diceritakan dari kota gudeg ini. Sekian banyak teman yang pernah berkunjung ke Jogja, mereka selalu mengaku kangen dan ingin kembali. “Enak ya, Het, Jogja,” begitu katanya. Saya yang orang asli Jogja hanya senyum-senyum saja. Ternyata cinta pada Jogja memang harus dibagi-bagi, agar semua bisa ikut merasakan :).

Sadar atau tidak, (hampir) enam tahun meninggalkan Jogja, membuat saya kurang update dengan perkembangan Jogja. Apalagi, soal wisata kuliner. Jujur, kalau zaman saya, ‘angkringan’ dan ‘lesehan’ masih menjadi top of mind wisata kuliner di Jogja, kini, lebih bervariasi. Industri kreatif tumbuh subur di Jogja. Salah satunya, melalui kafe-kafe ‘kekinian’ yang menawarkan makanan-minuman beraneka rupa. Yang membuat terkenal juga bukan hanya resep bumbunya. Garam dan gula sepertinya tidak cukup. Perlu ‘dua sendok makan’ koneksi internet di mana informasi akan tersebar tanpa batas. Lalu, goreng sampai kuning keemasan, dan tiriskan. Lah!

Nah, ngomong-ngomong soal kuliner, kepulangan saya ke Jogja awal Juli lalu menjadi istimewa saat papa mengajak saya ke warung Bakmi Jawa. “Ini beda, Dek,” katanya. “Iya, beda,” mama ikut nimbrung, membuat saya semakin penasaran.

Usut punya usut, papa membawa saya ke warung Bakmi Jawa yang pernah muncul di TV. Di sini, sebenarnya papa adalah korban, eh. Sejak berlangganan TV kabel, papa gemar menonton acara kuliner di sebuah stasiun TV. Sebagai pecinta bakmi, papa pun ingin membuktikan sendiri cita rasa salah satu warung Bakmi Jawa yang pernah diliput.

Saya tertawa saja. Iya juga sih. Apalah arti menonton acara kuliner dan jalan-jalan kalau kita, pemirsanya, juga belum ikut merasakan. Jangan biarkan host acaranya menjadi paling sotoy sedunia haha 😀

Namanya, Bakmi Jowo Mbah Gito. Letaknya di daerah Rejowinangun, Kotagede, Yogyakarta. Kemarin, saat saya dan keluarga tiba pukul tujuh malam, ramainya bukan main. Parkir kendaraannya saja sampai di ujung-ujung jalan. Untungnya, di belakang warung, ada tanah kosong dekat masjid yang ‘disulap’ menjadi tempat parkir.

Jangan kaget ya saat masuk ke dalam … Jreng! Serba kayu! Kayu disimpul sedemikian rupa menjadi tiang-tiang penyangga atap serta sekat antara area satu dengan yang lainnya. Ini bukan seperti warung makan kebanyakan, ini labirin! Ini lebih mirip seperti … kandang!!

Walau sempat was-was, bersyukur juga. Nyatanya, kami bisa langsung mendapat tempat, tidak masuk waiting list (oh yes, saking banyaknya pengunjung, kamu bisa masuk daftar tunggu kalau semua meja dan kursi full). Begitu masuk ke dalam labirin warung makan, ada pelayan yang langsung tersenyum menyambut dan menanyakan jumlah tamu untuk dipilihkan meja dan kursi yang pas.

Siapa sangka, kami yang bertiga ini langsung mendapat ‘kandang sapi’. Tuh, kan, apa tadi yang saya bilang! Saya dan mama tertawa. Kandang sapi di sini adalah benar-benar mirip kandang sapi, plus satu meja panjang beserta kursi panjang. Jadilah, malam itu, kami makan bertiga berjajar, tidak berhadapan.

Selamat datang di kandang sapi.

Makanan
Malam itu, papa memesan bakmi godog (mie rebus), mama memesan nasi goreng jawa, dan saya tetap pada kesukaan, capcay rebus. Untuk minuman, papa memesan teh poci, sedangkan saya dan mama memesan jahe panas.

Dari ketiga makanan yang kami pesan, saya suka semua (icip-icip). Soalnya, semuanya punya cita rasa khas. Bawang putih dan rasa rempahnya berasa dalam. Untuk capcay, sayurannya matang pas, tidak mentah dan tidak lembek. Nasi gorengnya juga tipikal nasi goreng Jawa yang manis.

Untuk minuman, (sepertnya) tidak jauh beda dengan yang ditawarkan di rumah makan lain. Teh poci disajikan dengan poci dari tanah liat. Minuman jahe panas disajikan dengan jahenya langsung diceburkan ke dalam gelas, beradu dengan gula batu. Oh ya, karena minumannya menggunakan gula batu, rasanya pun berbeda dengan minuman bergula pasir.

Harga
Harga makanan dan minuman di sini tidak tercantum di nota pemesanan. Tapi, jangan khawatir, kamu dapat mengeceknya saat melakukan pembayaran di kasir, setelah selesai makan. Di bilik kasir, akan ada papan di mana harga semua makanan dan minuman terpampang jelas.

Untuk 1 porsi bakmi godog (a.k.a bakmi rebus), 1 porsi nasi goreng, 1 porsi capcay kuah, 1 the poci, dan dua jahe panas, totalnya seratus dua puluh ribu sekian. Saya lupa-lupa ingat, karena saat membayar di kasir, saya kedistrak dengan pajangan-pajangan unik dari kayu yang ada di sekitar bilik kasir.

Yay or Nay?
Overall, saya sih ‘yes’ untuk kembali berkunjung ke sini. Cita rasa masakannya yang membuat kangen dan saya belum pernah menemukan yang seperti ini di Jakarta (anak perantauan curhat nih yee!). Masakan yang sedap bukan karena vetsin, melainkan perkawinan bawang putih, gula, dan garam. Selain itu, suasana warung makan yang unik membuat kita betah. Semuanya serba kayu, tradisional, dan ‘kampung’.

Walaupun demikian, karena banyaknya pengunjung yang datang, makan, lalu pergi, tak terhitung, suasana di sini cenderung ramai. Ditambah dengan pengunjung yang kehebohan berfoto saat panggung wayang mulai ‘hidup’ dengan sinden dan pak dalang. Eh, saya belum tulis ya? Di bagian tengah warung ini, ada semacam panggung kecil yang cukup untuk satu layar mini wayang kulit, tempat duduk sinden, pak dalang, dan beberapa orang penabuh gamelan.

It is show time! Pertunjukkan wayang kulit.

Sehingga, menurut saya, dengan suasana yang seperti ini, jangan bikin rapat yang serius-serius di sini hehe. Tapi kalau sekadar pertemuan, kangen-kangenan, reunian ada ruangan khusus yang disediakan dan cukup lapang untuk menampung banyak orang. Seperti saat papa tiba-tiba impulsif, “Ma, panitia kurban (baca: Idul Adha) apa rapat di sini aja ya? Kan bakminya enak nih,” yang langsung direspon dengan gelengan kepala oleh saya dan mama. Kurang cocok, sepertinya. Mending makan dan nonton wayang saja di sini hehe.

Yang penasaran dengan kandang sapi yang ‘nyeni’, pengen menikmati suasana Jogja sambil makan bakmi dan berdendang dengan alunan gamelan, cuss … mampir ke mari!

Bakmi Jowo Mbah Gito
Jalan Nyi Ageng Nis No. 9
Rejowinangun Kotagede Yogyakarta
Cek akun Intagramnya juga @bakmijowo_mbahgito
Buka: 11.00 – 23.00 WIB

Begitu mendengar ‘Berastagi’ (atau sering dilafalkan, ‘Brastagi’), yang langsung terlintas di kepala adalah monopoli edisi nasional yang memuat kota atau daerah tujuan wisata terkenal di Indonesia. Sebut saja kompleks Medan, yang terdiri dari Danau Toba, Berastagi, Prapat, dan lain-lain. Hihi, diam-diam, karir saya melesat, dari anak bawang yang diminta jadi bank sampai pengusaha hotel dan rumah di permainan monopoli.

Back to topic, ya, tentang Berastagi. Tutup dulu mainan monopolinya.

Sebagai orang yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Medan, rasanya langsung ingin kalap mengunjungi semua destinasi wisata di Medan. Sebut saja, Danau Toba, Pulau Samosir, Berastagi, Prapat, Istana Maimun, Masjid Raya Medan, Sibayak-Gunung Sinabung, dan masih banyak lagi. Pokoknya, semua yang ada di search engine Google mengarah ke situ.

Nah, berhubung singkatnya waktu singgah ke Medan kali ini, kakak ipar saya (ciee, sekarang punya) memilihkan kami sekeluarga untuk berkunjung ke Berastagi. Mengapa Berastagi? Alasannya sederhana. Jika dibandingkan dengan destinasi lainnya, sepertinya ini yang paling mudah dikunjungi dalam setengah hari karena jaraknya yang tidak begitu jauh (plus, anggota perjalanan kali ini adalah papa, mama, pakde, dan budhe yang tidak henti-hentinya mengatakan,”Ayo istirahat di hotel aja, nggak usah jauh-jauh” -__-“).

Berastagi adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Karo yang terletak di dataran tinggi Karo. Hal itu membuat hawa di Berastagi cukup dingin. Ya, kalau di Jogja, mirip Kaliurang atau kalau di Bogor, mirip Puncak. Dengan jalan aspal menanjak dan berkelok, kita diajak untuk menikmati pemandangan perbukitan yang ditumbuhi berbagai pepohonan.

Oh ya, di Berastagi terdapat beberapa objek wisata. Ada beberapa tempat yang menawarkan pemandian air panas di kanan kiri jalan. Selain itu, ada juga rumah makan yang menawarkan menu jagung bakar, indomie, dan minuman hangat aneka rupa. Pokoknya, khas dataran tinggi.

Tidak sampai dua jam perjalanan dari Tanjung Morawa, saya sudah tiba di Berastagi. Berastagi yang saya kunjungi kali ini tepat di pasarnya. Bisa jadi karena hari Minggu, ramainya bukan main. Kombinasi tempat wisata dan pasar malam, terbayang kan?

Di area pasar yang ramai kita harus ikhlas berbagi jalan sama kuda.

Di area pasar yang ramai kita harus ikhlas berbagi jalan sama kuda.

Walaupun hanya pasar, tetap saja ada yang istimewa. Selain baju-baju khas yang bisa dibeli untuk oleh-oleh, ada juga buah-buahan dan sayur mayur hasil panen daerah setempat. Wuiw! Segarnya bukan main. Saya suka melihat warna-warni buah-buahan yang merefresh mata saya.

Yuk, absen! Jeruk, salak, buah naga, markisa, dan strawberry.

Yuk, absen! Jeruk, salak, buah naga, markisa, dan strawberry.

Ada Medan, ada markisa.

Ada Medan, ada markisa.

Oleh-oleh. Lucuk buat dibeli, lucuk buat dipajang.

Oleh-oleh. Lucuk buat dibeli, lucuk buat dipajang.

Lalu, apa yang dibeli di pasar ini? Hmm, tidak ada yang khas kecuali kaos-kaos bertuliskan, ‘Brastagi’ atau patung-patung pahatan dari kayu berbentuk rumah adat ataupun orang yang berpakaian khas daerah Medan. Sisanya, kain-kain atau aksesoris bercorak batik kontemporer yang, menurut saya, bisa kita dapatkan di destinasi wisata pada umumnya. Yang penting, jangan lupa borong buah-buahannya, ya, lumayan untuk bekal perjalanan.

Pengunjung enggak melewatkan untuk berburu buah.

Pengunjung enggak melewatkan untuk berburu buah.

Nyobain, enggak beli, enggak dosa hehe.

Nyobain, enggak beli, enggak dosa hehe.

Sedih adalah selalu ada sampah. Monyet pun ikut mengais sampah.

Sedih adalah selalu ada sampah. Monyet pun ikut mengais sampah.

#NulisRandom2015

Danau Kastoba merupakan sebuah danau di Pulau Bawean yang menarik untuk dikunjungi. Pemandangannya sangat indah karena masih sangat alami. Jalanan terjal menembus hutan yang harus dilalui untuk menuju ke sana pasti akan terbayar lunas begitu menyaksikkan keindahan Danah Kastoba.

Danau ini sangat ramai dikunjungi oleh masyarakat Bawean pada saat libur lebaran. Ada yang hanya sekedar berjalan-jalan menikmati pemandangan di sekitar danau, berfoto, piknik sambil membakar ikan, bahkan ada yang ‘nekat’ berenang di danau.
Di masa depan, Danau Kastoba sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai objek wisata andalan di Pulau Bawean. Bagi orang-orang yang senang dengan wisata alam, Danau Kastoba jangan sampai dilewatkan.

Danau Kastoba

Cagar Alam Pulau Bawean

Bala Bawean di Danau Kastoba