Minggu di Manggarai

Kalau dihitung-hitung, ini kali kesekian melewati kawasan Manggarai, Jakarta. Tidak bisa terhitung saking seringnya. Kawasan ini cukup khas untuk diingat, baik saat melintas naik busway, kereta, mobil, atau motor (baca: gojek/grab bike, bohong, kalau saya naik motor sendiri di Jakarta hehe). Tengok saja, ada stasiun Manggarai, halte busway Manggarai, Pasaraya Manggarai, pasar Manggarai, sungai Manggarai, terowongan, serta perkampungan padat pinggir kali nan sarat penduduk. Nah, justru yang seperti itu kan yang mudah dikenali?

Dengan ’kekhasannya’ itu, berbagai komunitas tumbuh dan berkembang subur di Manggarai. Hampir semua bergerak di bidang pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Misalnya saja, pendirian perpustakaan atau taman baca, aktivitas kegiatan belajar dan bermain bersama anak-anak, pelatihan/kursus, maupun penguatan kapasitas ekonomi dengan memberdayakan ibu-ibu yang tinggal di sana. Saya jadi ingat, beberapa tahun yang lalu, saat kawasan Manggarai dilanda banjir, banyak sekali komunitas yang terjun untuk ikut membantu, termasuk kegiatan belajar dan bermain. Trauma healing untuk anak-anak, katanya.

Hari Minggu (27/3) kemarin, akhirnya, saya bisa menengok Manggarai lagi. Percuma saja sering lewat tapi jarang singgah. Lagi-lagi, ini tentang betapa ‘khasnya’ kawasan Manggarai itu. Sesederhana apapun yang kamu lakukan, sangat berarti bagi orang-orang di sana. Saya mengiyakan ajakan Asti (@granasti) untuk mengajar anak-anak di sana. Rupanya, Asti dan teman-temannya sudah rutin datang ke Manggarai setiap hari Minggu pagi (tanpa embel-embel nama komunitas, hanya menyanggupi undangan ketua Karang Taruna). Kebetulan Minggu kemarin, Asti membutuhkan teman untuk menemani mengajar karena teman-teman yang lain sedang berhalangan hadir.

Seperangkat 'alat kesenangan' kami bersama anak-anak di hari Minggu.

Seperangkat ‘alat kesenangan’ kami bersama anak-anak di hari Minggu.

Kegiatan belajar dan bermain berlangsung di mushola. Sederhana tapi strategis karena banyak orang lalu lalang di depannya. Maklum, letaknya di pinggiran gang. Musholanya juga terbuka, siapapun bisa melihat apa yang kami lakukan. Senang, banyak anak-anak yang datang. Mereka bagai semut yang menemukan tumpahan gula di dapur, langsung menyebar, mengundang semut-semut lain. Mereka antusias dengan meja kayu panjang yang di atasnya sudah tersedia kertas-kertas gambar serta pensil warna aneka rupa. Anak-anak yang lewat di depan mushola tidak tahan melihat teman-temannya asyik mewarnai. Mereka mendekat, duduk bergabung, dan menit berikutnya tertular virus keasyikan.

Dua jam nyatanya tidak cukup. Kegiatan mewarnai, menulis, mendongeng, lalu belajar Matematika membuat kami harus tinggal 30 menit lebih lama dari biasanya. Siapa yang tega untuk mengakhiri keasyikan anak-anak itu? Kami hanya bisa menenangkan anak-anak dengan ucapan, “Minggu depan datang lagi ya, jam 9 sudah siap di mushola.”

Selesai kegiatan, merapikan peralatan, rasanya masih ada ‘sisa-sisa’ keberadaan anak-anak itu. Walau hanya dua jam lebih 30 menit, segala tindak-tanduk anak-anak itu terekam jelas dalam memori saya sebagai seorang dewasa. Ada rasa haru, ada juga pilu. Saya sempat berbagi cerita dengan Asti dan Asti pun mengiyakan. Atas segala sesuatu yang terjadi saat weekdays, bagi kami –pekerja perantauan Jakarta– potret hari Minggu di Manggarai bersama anak-anak selalu bisa membuat lebih bersyukur dan lebih bijak.

Dongeng andalan Asti di depan anak-anak adalah Putri dan Naga Sakit Gigi.

Dongeng andalan Asti di depan anak-anak adalah Putri dan Naga Sakit Gigi.

Leave a comment