Sabtu, 21 Februari 2015
(Sabar, cuy! Belum ganti hari. Hihi)
Masih tentang Lounge Blue Sky.
Pertanyaannya masih sama. Di bagian sebelah mana Soetta-kah Lounge Blue Sky itu?
Perjalanan Karet Sudirman – Soetta, Cengkareng bagai simbsalabim. Cepat! Nampaknya, hari Sabtu kemarin, orang-orang Jakarta sedang malas-malasnya ‘memenuhi’ jalanan dengan mobilnya. Jadi beruntunglah, saya.
Pukul 11 lebih 15 menit, taksi order via aplikasi grab taxi sudah menanti manis di depan kos. Tidak sampai satu jam perjalanan, pukul 12 kurang, saya sudah memasuki area terminal 1. Mata saya langsung jelalatan membaca tulisan-tulisan yang terpampang si sepanjang bangunan terminal. Dan, voila.. ketemu!
Alih-alih langsung menuju Lounge Blue Sky, saya justru tertarik dengan segerombolan koper warna coklat yang tertata rapi, penanda sedang didata. Tidak jauh dari pemandangan koper, ada juga beberapa rombongan yang menyemut membentuk lingkaran masing-masing, mengenakan batik biru kuning mentereng.
Nah, itu dia! Rombongan umroh saya dari Jakarta, yeay!
Noted:
Inilah salah satu resiko bepergian sendirian. Selain harus sadar diri bahwa kita pergi sendiri, kita juga harus bisa mengenali lingkungan sekitar untuk berafiliasi agar tidak merasa asing sendiri.
“Halo, saya Hety, “ kata saya mantab, memperkenalkan diri pada si pendata koper dan koordinator umroh.
“Dengan siapa?” tanya si pendata koper, to the point.
“Saya sendiri,” jawab saya mantap plus senyum mengembang seperti layar kapal terkena angin lautan.
Detik berikutnya, si pendata koper sudah terlibat pembicaraan dengan si koordinator umroh. Mereka berdua memang mundur beberapa langkah dari keberadaan saya. Syukurlah, dengan telinga selebar gajah dan kepekaan suara nyamuk nging-nging, saya masih bisa mendengar percakapan dua orang itu .
Intinya, mereka mengkhawatirkan kesendirian saya dalam perjalanan kali ini. Perjalanan pertama kali. Saya harus benar-benar stay dalam rombongan, tidak boleh ke mana-mana sendiri, serta karena saya perempuan muda, harus dalam pengawasan yang lebih tua slash pengawasan ibu-bapak. Done, saya dititipkan.
Bukan perkara mudah untuk menentukan siapa yang bisa diajak berkenalan di kondisi bandara yang ramai seperti ini. Hampir semua orang yang mengenakan batik biru kuning mentereng dikelilingi orang orang-orang yang berbaju bebas (baca: keluarga). Mereka tampak sibuk mengucapkan kalimat pamitan. Sesekali mereka tertawa tapi juga curi-curi kesempatan untuk mengusap ujung mata dengan tisu yang tergenggam berantakan di jari tangan.
Oh, mama, papa, mbak Yen. Ini beneran, Hety pergi sendirian, ya? Saya berguman random, mengenang keluarga di Jogja.
Saya mencoba menajamkan radar. Tengok ke kanan dan ke kiri mencari orang seumuran yang bisa diajak bertegur sapa. Bip bip bip, bunyi radar dalam imajinasi muncul, menandakan saya tak menemukan orang seumuran.
Yeah, walau kadang umur 26 dianggap sudah cukup umur dan dewasa, nampaknya tidak berlaku di sini. Di sini, saya termasuk anak kecil. Anak kecil yang (sesungguhnya) tidak boleh pergi sendiri. Saya mulai memahami apa yang dirumpikan oleh si pendata koper dan koordinator umroh tadi. Saya masih kecil, masih muda, belum menikah, dan tidak boleh pergi sendiri. Entah, mengapa rasanya berbeda. Biasanya, dicap masih muda adalah sebuah kebahagiaan tapi kali ini, nampak seperti disepelekan.
“Tante, sini, saya potretkan!” sapa pertama saya pada tiga orang ibu-ibu seusia mama. Oke, strategi SKSD Palapa mulai dijalankan. SKSD adalah Sok Kenal Sok Dekat padahal tidak tahu apa-apa :p.
“Aaaw, boleeeeh,” seru para ibu kompak, gembira.
Selesai klik sana, klik sini, saya pun memperkenalkan diri.
“Ya, ampun! Sendiri? Masih muda sekali, ya? Pantes, kelihatan banget. Di bawah 30 pasti. Belum menikah, ya? Ikut seneng ternyata masih ada anak muda yang uangnya nggak cuma buat foya-foya. Udah, sini aja, ikut kita bertiga aja. Suka foto-foto, kan? Nanti gantian. Kalau sama kita, harus foto. Jangan kaget, ya. Kita bertiga sahabatan sejak SMA. Ini ceritanya, kami reuni.”
Hasil jepretan Tante Ade.
Di luar dugaan, respon ketiga tante bagai taburan confetti, heboh dan meriah. Alhamdulillah, saya dipertemukan dengan tiga tante baik hati yang suka foto. Hush-hush, buang jauh rasa kesepian. Kalau sudah diniatkan, tidak ada yang namanya pergi sendirian, adanya hanya teman dan keluarga baru yang menyenangkan.
Thanks to Tante Ade, Tante Wulan, dan Tante Ratna.
Kalau Cinderela cuma punya satu ibu peri, saya punya tiga tante peri baik hati hihi 🙂