Archive

Umroh

23 – 25 Februari 2015

Umroh pertama kemarin meninggalkan pengalaman yang berkesan bagi saya. Walaupun jadwal sembilan hari umroh jamaah sudah diatur sedemikian rupa oleh pihak biro travel, umroh tetaplah ibadah yang bersifat individu. Artinya, individu tetap mendapatkan kesempatan untuk beribadah sesuai dengan keinginannya.

Nah, selain ibadah umroh di tanah suci, saya juga melakukan perjalanan ke beberapa tempat bersejarah atau disebut dengan ziarah Mekkah dan tentu saja, mengunjungi tempat membeli oleh-oleh yang khas Mekkah.

Jabal Rahmah
Jabal Rahmah adalah tempat bertemunya Adam dan Hawa.

Jabal Rahmah, tempat bertemunya Adam dan Hawa

Jabal Rahmah, tempat bertemunya Adam dan Hawa

Masjid Ji’ronah
Jika ingin beribadah umrah lagi, kita dapat mengambil miqat di sini.

Masjid Ji'ronah

Masjid Ji’ronah

Pasar Jafariyah

Pasar Jaafaria

Pasar Jaafaria

Masjid Hudaibiyah

Masjid Hudaibiyah

Masjid Hudaibiyah

Peternakan Unta
Semula, saya berpikir peternakan unta tidak jauh berbeda dengan peternakan sapi, ayam, bahkan kuda. Saya membayangkan, ada beberapa bangunan untuk kandang atau stall tempat para unta tinggal. Nyatanya, saya salah besar. Alih-alih, peternakan, ini hanya padang pasir luas dengan bangunan nonpermanen untuk singgah para penggembala. Unta-unta dibiarkan berkelompok tanpa pembatas. Sejauh, mata memandang, hanya hamparan padang pasir maha luas di samping kanan kiri jalan raya. Oke, tambahan referensi baru, untuk mendefinisikan kata ‘peternakan’ hehe.

Peternakan unta

Peternakan unta

Minggu, 22 Februari 2015

Jakarta – Abu Dhabi
Abu Dhabi – Jeddah
Jeddah – Mekkah

Perjalanan kali ini terasa menyenangkan. Kalau boleh digambarkan, rasanya syahdu ceria-ceria gimana gitu. Seperangkat rasa kesepian karena pergi sendirian sudah digembok di kotak dan diceburkan jauh ke Laut Jawa (lebay =p). Yang tersisa, rasa sumringah sekaligus ‘sadar diri’ karena perjalanan religi.

Ini penerbangan ke luar negeri pertama saya bersama Etihad Airways. Mengapa Etihad? Bukan saya yang memilih melainkan pihak biro travelnya. Jika kita pergi ke Jeddah, dari Jakarta, menggunakan Etihad, maka kita akan transit di Abu Dhabi selama beberapa jam.

Pukul 22.50 waktu setempat (21/2), saya tiba di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Dari Abu Dhabi, pesawat baru akan berangkat ke Jeddah pukul 01.55 (22/2). Karena cukup lelah dan mengantuk, saya tidak sempat jalan-jalan keliling bandara (padahal biasanya antusias saat berada di tempat baru, bandara sekali pun hehe). Saya dan beberapa jamaah memanfaatkan waktu transit untuk membersihkan diri dan istirahat di ruang tunggu.

Oh ya, sedikit berbagi informasi, ya. Seperti dijelaskan di buku panduan umroh, untuk orang Indonesia yang akan menjalankan ibadah umroh, maka kita mengambil miqat di Yalamlam atau lokasi yang sejajar dengannya, dan bukan di Jeddah. Miqat di sini artinya ketentuan waktu untuk melakukan ibadah haji dan umroh, misalnya berniat. Sehingga, saat perjalanan umroh, di pesawat terbang, kita tidak boleh melewatkan miqat ini tanpa berikram. Bagaimana kita tahu kalau sudah tiba di lokasi miqat? Jangan khawatir, pilot atau pramugari akan memberikan pengumuman via speaker saat tiba di lokasi miqat.

Rasa-rasanya akan cukup merepotkan jika semua jamaah berganti pakaian ikram saat di pesawat. Sehingga, disarankan, saat transit beberapa jam di Abu Dhabi, kita dapat memanfaatkannya untuk membersihkan diri dan berganti baju. Untuk laki-laki, bisa segera menggunakan kain ikram. Sedangkan, untuk perempuan ada beberapa pilihan.

Pertama, bersuci di rumah dan menggunakan pakaian ikram sejak di bandara. Kedua, sama seperti jemaah laki-laki, berganti baju saat transit di Abu Dhabi. Saya sendiri memilih yang pertama. Sehingga, saat transit, saya tinggal membersihkan diri dan beristirahat sejenak (baca: berdiam diri sambil memanfaatkan wifi bandara yang super kencang =p).

Sekitar pukul 04.00 waktu setempat (22/2), saya tiba di bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Sesuai prosedur, rombongan harus melakukan pengecekan dokumen di bagian imigrasi bandara. Ujian kesabaran tahap satu dimulai karena pengecekan di imigrasi ini cukup memakan waktu yang lama, apalagi untuk jamaah laki-laki.

Yeay, welcome to Jeddah!

Yeay, welcome to Jeddah!

Melihat jamaah dari negara lain yang mulai sibuk. Selamat pagi, Jeddah!

Melihat jamaah dari negara lain yang mulai sibuk. Selamat pagi, Jeddah!

With the angels, Tante Wulan dan Tante Ratna

With the angels, Tante Wulan dan Tante Ratna

Sarapan perdana yang 'Indonesia Banget' di negeri orang.

Sarapan perdana yang ‘Indonesia Banget’ di negeri orang.

Di bagian imigrasi ini, antara antrian laki-laki dan perempuan dipisah. Saya cukup lega karena jika tidak dipisah, untuk perempuan yang pergi sendiri, walaupun di pasport sudah tertulis nama muhrim ‘yang dibuat’ akan tetap diminta untuk membuktikan. Maksudnya, kita diminta untuk menunjukkan siapa muhrim kita oleh petugas imigrasi. Sehingga, saat mengantri, kita harus berbaris, dengan urutan muhrim ada di belakang kita.

Selain itu, jangan heran jika dalam antrian cukup riuh dengan beraneka ragam bahasa. Ternyata tidak hanya jamaah dari Indonesia saja yang akan melakukan ibadah umroh, tetapi juga dari negara-negara lain, seperti India, Pakistan, Iran, dan Bangladesh.

Di Jeddah, adzan subuh berkumandang dua kali. Pertama, pukul 04.30 waktu setempat sebagai penanda, lalu, adzan kedua atau adzan subuh berkumandang pukul 05.30 waktu setempat. Usai mengurus dokumen di imigrasi dan solat subuh di bandara, saya dan rombongan berangkat menuju Mekkah dengan bus.

So, Mekkah, here we go!

Tips:
– Batik yang diberikan oleh biro travel lebih baik dijahitkan menjadi rompi/blazer/luaran agar mudah dilepas pakai. Pada dasarnya, batik ini lebih berfungsi sebagai tanda pengenal karena banyaknya jamaah umroh dengan berbagai biro travel.
– Bawa tas kecil berisi seperangkat alat gosok gigi (a.k.a peralatan bersih-bersih) yang bisa dibawa ke kabin. Hal ini sangat bermanfaat apabila kita transit, sebelum sampai di tujuan.

Sabtu, 21 Februari 2015

(Sabar, cuy! Belum ganti hari. Hihi)

Masih tentang Lounge Blue Sky.

Pertanyaannya masih sama. Di bagian sebelah mana Soetta-kah Lounge Blue Sky itu?

Perjalanan Karet Sudirman – Soetta, Cengkareng bagai simbsalabim. Cepat! Nampaknya, hari Sabtu kemarin, orang-orang Jakarta sedang malas-malasnya ‘memenuhi’ jalanan dengan mobilnya. Jadi beruntunglah, saya.

Pukul 11 lebih 15 menit, taksi order via aplikasi grab taxi sudah menanti manis di depan kos. Tidak sampai satu jam perjalanan, pukul 12 kurang, saya sudah memasuki area terminal 1. Mata saya langsung jelalatan membaca tulisan-tulisan yang terpampang si sepanjang bangunan terminal. Dan, voila.. ketemu!

Alih-alih langsung menuju Lounge Blue Sky, saya justru tertarik dengan segerombolan koper warna coklat yang tertata rapi, penanda sedang didata. Tidak jauh dari pemandangan koper, ada juga beberapa rombongan yang menyemut membentuk lingkaran masing-masing, mengenakan batik biru kuning mentereng.

Nah, itu dia! Rombongan umroh saya dari Jakarta, yeay!

Noted:

Inilah salah satu resiko bepergian sendirian. Selain harus sadar diri bahwa kita pergi sendiri, kita juga harus bisa mengenali lingkungan sekitar untuk berafiliasi agar tidak merasa asing sendiri.

Halo, saya Hety, “ kata saya mantab, memperkenalkan diri pada si pendata koper dan koordinator umroh.
Dengan siapa?” tanya si pendata koper, to the point.
Saya sendiri,” jawab saya mantap plus senyum mengembang seperti layar kapal terkena angin lautan.

Detik berikutnya, si pendata koper sudah terlibat pembicaraan dengan si koordinator umroh. Mereka berdua memang mundur beberapa langkah dari keberadaan saya. Syukurlah, dengan telinga selebar gajah dan kepekaan suara nyamuk nging-nging, saya masih bisa mendengar percakapan dua orang itu .

Intinya, mereka mengkhawatirkan kesendirian saya dalam perjalanan kali ini. Perjalanan pertama kali. Saya harus benar-benar stay dalam rombongan, tidak boleh ke mana-mana sendiri, serta karena saya perempuan muda, harus dalam pengawasan yang lebih tua slash pengawasan ibu-bapak. Done, saya dititipkan.

Bukan perkara mudah untuk menentukan siapa yang bisa diajak berkenalan di kondisi bandara yang ramai seperti ini. Hampir semua orang yang mengenakan batik biru kuning mentereng dikelilingi orang orang-orang yang berbaju bebas (baca: keluarga). Mereka tampak sibuk mengucapkan kalimat pamitan. Sesekali mereka tertawa tapi juga curi-curi kesempatan untuk mengusap ujung mata dengan tisu yang tergenggam berantakan di jari tangan.

Oh, mama, papa, mbak Yen. Ini beneran, Hety pergi sendirian, ya? Saya berguman random, mengenang keluarga di Jogja.

Saya mencoba menajamkan radar. Tengok ke kanan dan ke kiri mencari orang seumuran yang bisa diajak bertegur sapa. Bip bip bip, bunyi radar dalam imajinasi muncul, menandakan saya tak menemukan orang seumuran.

Yeah, walau kadang umur 26 dianggap sudah cukup umur dan dewasa, nampaknya tidak berlaku di sini. Di sini, saya termasuk anak kecil. Anak kecil yang (sesungguhnya) tidak boleh pergi sendiri. Saya mulai memahami apa yang dirumpikan oleh si pendata koper dan koordinator umroh tadi. Saya masih kecil, masih muda, belum menikah, dan tidak boleh pergi sendiri. Entah, mengapa rasanya berbeda. Biasanya, dicap masih muda adalah sebuah kebahagiaan tapi kali ini, nampak seperti disepelekan.

Tante, sini, saya potretkan!” sapa pertama saya pada tiga orang ibu-ibu seusia mama. Oke, strategi SKSD Palapa mulai dijalankan. SKSD adalah Sok Kenal Sok Dekat padahal tidak tahu apa-apa :p.

Aaaw, boleeeeh,” seru para ibu kompak, gembira.

Selesai klik sana, klik sini, saya pun memperkenalkan diri.

Ya, ampun! Sendiri? Masih muda sekali, ya? Pantes, kelihatan banget. Di bawah 30 pasti. Belum menikah, ya? Ikut seneng ternyata masih ada anak muda yang uangnya nggak cuma buat foya-foya. Udah, sini aja, ikut kita bertiga aja. Suka foto-foto, kan? Nanti gantian. Kalau sama kita, harus foto. Jangan kaget, ya. Kita bertiga sahabatan sejak SMA. Ini ceritanya, kami reuni.”

Hasil jepretan Tante Ade.

Hasil jepretan Tante Ade.

Di luar dugaan, respon ketiga tante bagai taburan confetti, heboh dan meriah. Alhamdulillah, saya dipertemukan dengan tiga tante baik hati yang suka foto. Hush-hush, buang jauh rasa kesepian. Kalau sudah diniatkan, tidak ada yang namanya pergi sendirian, adanya hanya teman dan keluarga baru yang menyenangkan.

Thanks to Tante Ade, Tante Wulan, dan Tante Ratna.
Kalau Cinderela cuma punya satu ibu peri, saya punya tiga tante peri baik hati hihi 🙂

Sabtu, 21 Februari 2015

My cute white gamis, brown socks, and black flat shoes.

My cute white gamis, brown socks, and black flat shoes.

Hari Sabtu yang lalu rasanya seperti mimpi. Seperti yang sudah-sudah, sesuatu yang semula hanya mampu saya bayangkan slash saya andaikan, benar-benar menjadi hari yang harus saya jalani. Cubit-cubit pipi, pijit-pijit jari tangan. Auow, sakit! Ternyata, saraf saya masih bisa mengirimkan sinyal ke otak untuk mengidentifikasikan sensasi rasa nyeri. Yeah, hari ini memang benar-benar terjadi (baca: kenyataan).

Jangan lupa, ya, Mbak. Berkumpul di Lounge Blue Sky jam 12.00.”

Takut? Iya.

Ini memang bukan kali pertama saya harus ke bandara sendiri. Ini juga bukan kali pertama saya bepergian sendiri. Bahkan, saya termasuk orang yang cukup ‘nekat’ untuk menjelajah tempat baru sendirian tanpa kawan (teringat, Januari kemarin, saya tersesat malam-malam di Palembang untuk menuju Jembatan Ampera sendirian).

Di bagian sebelah mana Soetta-kah Lounge Blue Sky itu?

Saya sudah siap tersesat. Saya juga sudah siap muka innocent, modal bertanya ke satpam bandara terdekat. Sayangnya, ketidaktahuan letak Lounge Blue Sky hanyalah ketakutan semu. Tidak ada.

Lebih dari itu, saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri. Kepergian kali ini benar-benar dilalui dengan serangkaian seremoni kegrogian yang luar biasa beberapa hari sebelumnya. Pamitan keluarga, grogi. Ditanya teman, grogi. Mengajukan cuti, grogi. Packing pun, grogi.

Maklum. Kepergian pertama yang bermula dari percakapan random dua orang perempuan yang mendambakan kedamaian hati. Tuhan (sepertinya) ikut mendengar rumpian kami dan tidak sampai satu tahun, Tuhan ‘menuliskan’ tiket perjalanan saya untuk menemuinya.

EY 475 Jakarta – Abu Dhabi
EY 313 Abu Dhabi – Jeddah

Siapa yang tidak bahagia bisa bertamu ke rumah Tuhan?

Di sinilah kemudian, saya menemukan teori kerelaan. Siapa yang tidak senang jalan-jalan? Jalan-jalan berarti rela melepaskan hati untuk bersenang-senang sekaligus siap kehilangan. Sesungguhnya, saat jalan-jalan, banyak hal di luar kendali kita yang harus siap direlakan. Kepulangan kita, misalnya.

Berniat pulang pun bukan jaminan. Tidak pernah ada yang tahu tujuan kepulangan kita sesungguhnya. Rumah yang mana? Takdir sudah memberikan alamatnya sendiri tentang rumah, tentang kepulangan.

Lalu, apa yang perlu ditakutkan? Kepulangan itulah bagian terpenting yang harus direlakan.

Astaudi ‘ukumullahalladzii laa tadzii u’ wa daaiu’hu.
Aku titipkan kalian kepada Allah yang tidak akan hilang titipan-Nya.
(HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Ibnu Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah)

So, here we go, bissmillahirrohmanirrohim, stairway to heaven like Led Zeppelin’s song.