Mengajar Itu Soal Rasa

Seberapa smart kamu, buktikan dengan mengajar. Berani terima tantangan? Coba saja buktikan! Faktanya, mengajar itu tidak melulu perkara kamu lebih pintar atau lebih jago dalam suatu bidang daripada orang lain, kok! Sama sekali tidak. Mengajar itu soal rasa.

Mengajar itu soal rasa? Ya. Kok bisa?

Bagi saya, mengajar adalah salah satu bukti kalau kamu mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain. Mengajar itu bukan berarti kamu sok pintar atau sok ahli kemudian berujung pada membanggakan diri. Sebaliknya, kamu akan menjadi pribadi yang rendah hati karena pada dasarnya ilmu pengetahuan itu tanpa batas. Mengajar bisa menjadi alat untuk mengukur kemampuanmu apakah kamu peka dengan kebutuhan orang lain atau tidak. Jika kamu mampu merasakan dan memahami bagaimana kondisi orang lain, tentu kamu dapat memberikan apa yang orang itu butuhkan. Smart, kan?

Antara Mengajar dan Belajar
Antara mengajar dan belajar itu bagai lirik lagu jadul 70-an, “Sepanjang jalan kenangan kita selalu bergandeng tangan” hehe.. Maksudnya, keduanya berkaitan erat. Disadari atau tidak, ketika kita mengajar, kita belajar juga, lho! Belajar apa? Belajar merasakan dan memahami orang lain, apalagi! Ya, ya, semuanya memang kembali lagi pada hal yang saya jelaskan di atas.

Ketika kita mengajarkan sesuatu pada orang lain, kita belajar untuk memahami apa yang orang lain butuhkan. Misalnya, saat kita mengajarkan matematika tentang penjumlahan bilangan. Maka, hal pertama yang kita lakukan adalah memahami si orang itu terlebih dahulu. Apakah dia sudah mengerti bilangan-bilangan yang ada di matematika, apakah dia sudah mengerti bahwa bilangan-bilangan itu bisa dijumlahkan, atau bahkan sampai apakah dia nyaman dengan cara kita mengajar. Kalau semua sudah, maka proses belajar akan berjalan dengan lancar. Hmm, kompleks, juga ya!

Tidak! Sederhana saja kok. Ini hanyalah cara untuk mengetahui seberapa smart kamu, yaitu seberapa mampu kamu memahami orang lain. Gimana? Sudah berani mencoba membuktikan? Mengajar yuk!

Sokola Rimba dan Kenangan Saya

Salah satu 'scene' film Sokola Rimba

Salah satu ‘scene’ film Sokola Rimba

Jujur, saya bernostalgia saat menonton film ‘Sokola Rimba’ beberapa waktu lalu di bioskop. Film itu berhasil membawa saya mengenang kembali masa-masa bertugas sebagai guru di Pulau Bawean. Sekolah, anak-anak, bukit, semuanya! Terlebih, saat menonton di bioskop, di samping saya adalah anak kecil yang diajak orang tuanya menonton. Lucunya, sepanjang film, si anak justru sibuk mengomentari film karena ada istilah asing yang didengarnya. Berhubung saya suka anak-anak, saya sama sekali tidak merasa terganggu. Sungguh ‘ambience’ yang sempurna, bukan?

Kenangan itu kembali lagi di ingatan saya bagai setrum, yaitu saat sosok Butet Manurung, yang diperankan oleh Prisia Nasution, mengajari anak-anak Suku Anak Dalam di hutan Bukit Duabelas, Jambi, membaca dan berhitung. Ya, saya melakukannya juga.

Bedanya, saya tidak mengajari anak-anak itu di rumah panggung di tengah hutan. Di Pulau Bawean tidak dikenal rumah panggung. Anak-anak itu menantikan saya di ruang tamu tempat saya tinggal. Mereka tahu jam pulang saya mengajar SD. Dengan sabar, mereka menantikan saya melahap makan siang, kemudian siap menyambut saya dengan senyum manis polos yang khas anak-anak sekali ketika saya menyibakkan tirai pembatas ruang tamu.

Halo, kanak-kanak?” sapa saya ramah.
(Halo, anak-anak?)
Hee, abelajar, Bu,” jawab salah satu anak ceria.
(Hee, belajar, Bu.)

Sosok Butet Manurung di film ‘Sokola Rimba’ itu smart. Dia mengajar. Ya, mengajar! Smart, kan? Ini bukan tentang Butet Manurung yang lebih tahu membca dan berhitung daripada anak-anak Suku Anak Dalam, lho! Diceritakan bahwa dia mengajari anak-anak belajar membaca dan berhitung dengan suka cita. Sama sekali tidak tergambar bahwa dia kelelahan atau kewalahan menghadapi tingkah polah anak-anak Suku Anak Dalam itu. Walaupun kelelahan naik turun bukit untuk mencapai kawasan Suku Anak Dalam, dia tetap riang mengajar. Lagi-lagi, ini soal rasa. Ya, mengajar itu memang soal rasa.

Bagian yang mengharukan adalah saat Butet Manurung dengan fasih berbahasa setempat agar lebih mudah dimengerti anak-anak Suku Anak Dalam. Di masyarakat, belajar bahasa setempat merupakan salah satu cara agar kita bisa lebih mudah diterima di suatu kelompok. Ini cara yang smart! Sosok Butet Manurung tidak serta merta mengajari anak-anak itu belajar. Dia pun belajar. Dia belajar memahami anak-anak itu bahwa mereka spesial. Mereka membutuhkan suasana belajar yang memang sesuai dengan latar belakangnya, termasuk penggunaan bahasa. Dengan bahasa setempat, anak-anak suku anak dalam itu lebih mudah mengerti ilmu yang disampaikan Butet. Butet Manurung memahami ini dan dia smart.

Saya pun bernostalgia. Saat mengajari anak-anak itu membaca, saya juga menggunakan bahasa Bawean. Anak-anak itu sesungguhnya juga mengajari saya, gurunya, berbahasa Bawean. Ibarat belajar bahasa Inggris, mereka melatih saya conversation langsung. Haha, mereka suka tertawa ketika saya berbahasa Bawean. Katanya, logat saya tidak pas. Ah, biarlah! Saking berkesannya, conversation saya, eh percakapan saya dengan anak-anak, masih terekam awet dalam memori saya sampai saat ini.

321012_10150295895263389_543837_n

Arapa mae baca ‘Ba’? Lakona, huruf ‘B’ ketemu huruf ‘A’!”
(Mengapa dibaca ‘Ba’? Karena huruf ‘B’ bertemu huruf ‘A’!)

Yuk, Mengajar!
Saat ini, banyak sekali komunitas yang mengikrarkan dirinya bergerak di bidang pendidikan. Hampir di setiap daerah ada, terlebih Jakarta, bak jamur di musim penghujan. Tak peduli usia, tua muda, beramai-ramai terjun ke lapangan langsung untuk melakukan kegiatan belajar. Saya melihat itu kegiatan mengajar massal. Massal? Ya, karena hampir setiap orang melakukannya.

Hal ini merupakan bukti bahwa banyak orang yang mulai peduli dengan sesamanya. Mereka mengajar. Mereka mencoba untuk peka dengan kebutuhan orang lain yang diajarinya. Hehe, jadi ingat salah satu tagline di sebuah program acara TV swasta, “Bahwa mencintai negeri ini adalah merayakan kemerdekaan dengan mengajar.” So, be smart dengan mengajar! Ya, ya, ya …

PS.

Hmm, ngomong-ngomong, tab 8 inchi ini memang hadir sebagai Si Smart yang memahami kebutuhan orang-orang di era high tech, lho! Cek saja fiturnya. Benar-benar smart memahami, kan?

Nah, kali ini gantian, ya! Coba, dewan juri hitung berapa kata ‘smart’ dalam postingan ini? Sesuai total bonus Si Smart 8 inchi ini, kan? Hihi *kedip genit*

banner lomba

“Blogpost ini diikutsertakan dalam Lomba Ultah Blog Emak Gaoel”

Sumber foto:

Suara Anak-anak Suku Pedalaman di Sokola Rimba, artikel di Antara News

5 comments
  1. indlles said:

    Terharuu……,, tugas berat guru itu cuma satu,,, “jangan sampai salah kasih penjelasan tentang materi yg disampekan” disinformation, sekali salah kasih penjelasan,, selamanya murid mengikuti apa yg di katakan gurunya,,,ngikutin kesalahan gurunya,,,, guru itu rasa tapi guru juga yg menciptakan rasa

    Like

    • Hety A. Nurcahyarini said:

      Hai Indlles,
      Thanks ya udah mampir.
      Yup, bener banget. Setuju juga dengan pendapatmu ^^V

      Like

  2. Wahh…ternyata seorang Ibu Guru, salam hormat saya untuk mereka para pendidik yang telah mencerahkan bangsa ini…tanpa mereka we are nothing…

    KerON banget pengalamannya.
    Saya juga akhirnya bisa sedikit merasakan nikmatnya menjadi pengajar dadakan saat ikutan Kelas Inspirasi di Padang tempo hari.

    Tetap semangat ya untuk mencerdaskan bangsa ini…

    Andy

    Like

    • Hety A. Nurcahyarini said:

      Sama-sama.
      Selamat menginspirasi \^^/

      Like

Leave a comment