Mie Ayam Penuh Cerita

Aku jadi tahu bagaimana orang jatuh cinta dan berusaha keras untuk melakukan pendekatan gara-gara semangkuk mie ayam. Aku benar-benar tak habis pikir. Lucu saja melihatnya. Di sana ada tiga orang dewasa, dua perempuan dan satu laki-laki. Mereka sedang memanfaatkan jam makan siang kantornya mungkin, aku tidak peduli.

Awalnya, seperti biasa, pembicaraan selalu diawali dengan basa-basi seputar berita apa yang sedang “in” di kantor mereka. Lama-lama menjadi membicarakan orang, dan lagi, lagi, membicarakan orang, begitu seterusnya. Ini menikah dengan orang yang berbeda agama, orang tuanya tidak setuju, bos kita terlalu kolot, si anu suka dengan anu, dia tidak tahu kalau si anu ……bla… bla… bla…. . Wah, benar-benar pembicaraan tingkat tinggi orang kantoran. Hiii, aku jadi merinding membayangkan dunia perkantoran yang benar-benar penuh dengan intrik, persahabatan yang tak pernah abadi, sesama rekan kerja saling menjegal, pengkhianatan, dan yah sebut saja demikian.

Bagaimana aku tidak mendengarkan. Di tenda warung mie ayam itu, hanya terdapat satu meja panjang dan belasan kursi plastik yang saling berhadapan. Sehingga wajar saja, aku dan temanku hanya senyum-senyum saja penuh arti, karena seolah kami terlibat pembicaraan tiga orang dewasa itu. Sedangkan, yang sebenarnya, kami hanyalah dua orang mahasiswa yang seolah-olah baru kemarin lulus SMA.

Temanku ini memang tak banyak berkomentar. Ia asik dengan HP-nya dan tenggelam pada kenikmatan mie ayam seharga 3000 rupiah itu. Sedangkan aku, pikiranku kemana-mana. Ya, curi-curi dengar pembicaraan tiga orang dewasa itu, menikmati mie ayam, dan tak lupa bernostalgia dengan SD-ku ini. Oh, ya aku lupa, mie ayam ini terletak persis di depan SD ku dulu. Wajar di depan SD banyak sekali orang-orang berjualan. Ada beberapa pedagang yang masih saja menjadi pedagang. Maksudku, sejak aku menginjak kelas satu SD hingga sekarang aku tercatat sebagai mahasiswa semester satu pada universitas terkemuka di kotaku.

Gerobaknya pun tidak berubah bentuknya. Hanya catnya saja dan ornamen-ornamen pelengkapnya. Yang kulihat kini adalah gurat yang semakin jelas. Wajah yang semakin menua. Dulu mbak-mbak yang menjual minuman masih single, sekarang dia sudah mengajak anaknya berjualan. Begitulah profesi. Di zaman serba sulit sekarang ini, lebih baik kita setia pada pekerjaan kita maka rejeki pasti akan datang, daripada kita berganti-ganti profesi yang semakin tidak jelas arahnya mau kemana.

Ups, sejak kapan aku menjadi sok tau seperti ini? Bukannya aku tadi sempat ngeri melihat kerasnya hidup, alotnya dunia kerja, dan perekonomian yang tak mau diajak kompromi? Kembali lagi ke tiga orang dewasa itu, si laki-laki sangat perhatian dengan salah satu rekan kerjanya itu. Dan pikirku, si perempuan yang diberi perhatian itu tahu, namun dia enggan untuk merespon. Ia berlagak seperti tidak terjadi apa-apa. Perempuan yang satunya lagi hanya mengiyakan saja, ia hanya menjadi penonton setia saja. Mengiyakan setiap topik pembicaraan, mengeluarkan opininya, dan menganggap tidak terjadi apa-apa. Walaupun menurutku, aku yang tercatat sebagai orang lain, bisa menyimpulkan sendiri dan melihat dengan jelas betapa besarnya maksud yang diutarakan. Mengapa masnya tidak pergi makan siang berdua saja? Mengapa harus bertiga? Apa masnya tidak malu? Yah, cinta. Sudah buta, mati rasa pula urat malunya.

Setiap aku menguyah pelan mie ayamku, teringat pula apa yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Kala itu aku masih tercatat sebagai salah satu siswa di SD ini. Baju seragam putih merah selalu kukenakan dengan bangganya. Kebanggaan seorang anak SD tentunya. Tersebutlah di depan gerbang belakang sekolahku terdapat gedung yang tak berpenghuni. Sekolahku dan gedung itu dipisahkan oleh jalan raya yang relatif sepi. Hanya beberapa kendaraan saja yang sesekali lewat. Gedung itu digunakan si penjual mie ayam untuk mangkal, dengan tambahan terpal plastik tentuya. Sebelum mie ayam ini berjualan di depan sekolah, dia berjualan di belakang sekolahku. Kupikir si penjual mie ayam itu sangat kreatif. Pos satpam yang berada di sisi depan gedung itu disulap sebagai tempat makan untuk para pembelinya. Si penjual hanya menambahkan bangku panjang dan meja panjang dan menatanya saling berhadapan. Sungguh kreatif bukan?

Berdirinya warung mie ayam itu berpengaruh banyak pada kehidupanku semasa SD. Walaupun masik duduk di SD, guruku sangat rajin sekali memberikan pelajaran tambahan seusai sekolah. Jadilah aku dan teman-temanku melewatkan jam makan siang yang seharusnya kami lewatkan di rumah masing-masing. Tidak main-main, seminggu itu guruku bisa memberikan kami tambahan pelajaran sebanyak tiga kali.

Semua itu tidak menjadi soal, si penjual mie ayam menyelamatkan kami semua dari perut keroncongan di jam makan siang. Untuk ukuran anak SD satu porsi mie ayam dan segelas dingin milo cukup membuat kami kekeyangan dan memberikan kami energi untuk mengikuti tambahan pelajaran. Orang tua kami juga tidak khawatir ketika memberikan kami uang saku lebih untuk membeli mie ayam. Ketika itu isu penggunaan formalin pada mie ayam sama sekali tidak ada. Entah apakah saat itu isu seperti itu belum terbongkar, ataukah memang tidak benar adanya.

Sebenarnya tidak hanya di halaman belakang sekolah saja yang ada penjualnya. Di halaman depan sekolah bahkan dipenuhi beberapa penjual dengan makanan ”khas anak SD”, lebih lengkap pula. Di sana terdapat sepasang suami istri penjual soto yang ramahnya minta ampun kepada kami semua. Sotonya enak, tapi frekuensi kami membeli soto dibandingkan mie ayam berbeda. Kami lebih sering membeli mie ayam daripada membeli soto untuk makan siang kami. Rupanya si penjual mie ayam dan dagangannya telah menyihir kami semua. Kami sering bermain kejar-kejaran dulu sambil menunggu mie ayam pesanan kami matang. Memang halaman gedung ini relatif luas. Sudah di-con block pula, jadi sangat nyaman. Ketika salah seorang temanku berulang tahun, dia mentraktir kami semua dengan satu porsi mie ayam dan segelas milo dingin. Selain itu, pernah sesekali aku mentraktir laki-laki yang kusukai. Temanku juga melakukan hal yang sama. Tidak kalah dengan ketiga orang dewasa di hadapanku ini, dulu aku jiga pernah merasakan cinta, cinta monyet ala anak SD.

Cerita lainnya, pernah aku dan mama makan siang bersama di warung mie ayam itu. Tak disangka, di sana bertemu dengan guru olahragaku. Ketika kami sedang asik menyantap mie ayam, beliau sudah selesai dan hendak pamit. Aku dan mama pun menyilakan beliau. Setelah selesai, mama membayar dan mengeluarkan uang dari dompetnya. Tapi dicegah oleh si penjual mie ayam, karena semuanya telah dibayar oleh ibu guru olahragaku yang baik hati. Betapa terkejutnya aku dan mama. Keesok harinya, mama memberiku uang dan menyuruhku bertemu dengan ibu guruku untuk menukar uang pembayaran mie ayam kemarin. Di kantor guru, aku malu-malu kucing di hadapan beliau dan berkata maksud kehadiranku. Tetapi apa daya, beliau bersikeras menolak dan berkata sama sekali tidak apa-apa. Hmm, sungguh ibu guru yang baik hati. Setelah kejadian itu, ketika pelajaran olahraga, apapun yang beliau tugaskan, aku langsung mengerjakan apa yang diperintah. Aku ingin membayar uang mie ayam itu dengan menjadi murid beliau yang patuh.

Tiba-tiba, senggolan temanku membuyarkan semua kenanganku dengan mie ayam ini. Temanku mengatakan bahwa dari tadi aku tersenyum geli sendirian sampai-sampai ketiga orang dewasa yang ada di hadapanku heran. Oh, malunya, padahal tadi aku yang membatin apa yang mereka lalukan. Sekarang mereka malah ganti menatapku keheranan. Sungguh mie ayam penuh cerita. Disukai siapa saja. Dikenang oleh semua orang yang memakannnya.

3 comments
  1. Horee…komen pertama ni!!!

    hebat banget, sejak pertengahan 2008 bari ada satu post?
    piye je Het..???

    Like

    • hety said:

      bialinnn =p

      aq emang sengaja ngasi kapling pertama buat kamu di blog qu.
      gimana, uda puas ta menjadi “yang pertama” comment?

      hwekekekekekeke

      Like

  2. ve said:

    veolet.wordpress.com =P

    Like

Leave a comment